Lihat ke Halaman Asli

Bidadari Senja

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

pagi ini, kulihat pelangi turun menari bernyanyi bersama pekik camar camar lapar. melukis biru biru lazuardi pagi, dengan warna jingga. jingga[?]. hingga aku bertanya, ''ada apa gerangnya..?''

Bidadari Senja

ia datang memaksa, turun lewat tangga tujuh warna dengan senyum nanar penuh amarah, panas, dan bringas, hingga bunga bunga yang hampir mekar itu kembali layu, daun daun berkelakar, maka rembulan purnama yang masih bertengger di kaki fajar berpaling tak sabar, hatinya berdebar dan matanya bicara,

''wahai senja, wahai warna yang kupuja sejenak sebelum gurat gurat gelap kubiarkan tersingkap, mengapa engkau datang, lama sebelum petang ?

apa yang ingin kau tentang ?''

Senja tertawa. wajahnya berang dan matanya menyala, angin tenggara mengangkat sayapnya dan mengurai rambutnya,

''Matahari !'' , katanya

... dan alam tertunduk diam. fajar bersembunyi dibawah kaki kaki langit. bianglala berganti warna, rembulan menganga dan dadanya tersesak, angin tenggara berhenti berarak. camar camar pengawal senja diam tak berkata kata. senyap

Senja berubah warna, hatinya marah dan wajahnya memerah

''Matahari !'' , geramnya sekali lagi...

lalu aku pun berlari sendiri, bersembunyi dibalik wajah wajah sepi, berharap semua ini berlalu seiring cahaya itu datang kembali, berharap semua ini...

hanyalah mimpi

23.03.12
-kur-




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline