Diskursus mengenai terorisme sebenarnya merupakan hal yang sangat luas dan cukup menarik untuk dikaji. Terorisme sebagai sebuah fenomena sosial akan selalu memunculkan perdebatan publik yang tidak pernah usai. Terlebih baru-baru ini aksi teror kembali terjadi di Indonesia, tepatnya aksi pengeboman bunuh diri di Gereja Katedral Makassar dan aksi senjata di Markas Besar Polri Jakarta.
Sebelum membahas lebih lanjut tentang bagaimana terorisme jika dilihat dari Teori Kritis Max Horkheimer, penulis ingin mengulas terlebih dahulu mengenai istilah dan definisi yang dapat menggambarkan terorisme. Istilah terorisme muncul pada tahun 1789 dalam The Dictionnaire of the Academic Francaise disebut yang dengan istilah system, regime de terreur. Hal ini erat kaitannya dengan konteks revolusi Prancis pada saat itu, di mana aksi teror masih dianggap hal yang baik, karena bertujuan untuk menghancurkan penguasa yang dianggap tirani dan otoriter.
Terorisme sebagai sebuah isu, terkadang memang rancu dan cukup sensitif untuk dibahas. Dalam memahami 'apa itu terorisme?' seringkali kita dihadapkan oleh dua hal yang cukup kontroversial, karena pendefinisian terorisme tidak pernah lepas dari bias-bias kepentingan ideologi dan politik. Sampai saat ini memang belum ada penjelasan komprehensif yang mampu menjabarkan apa itu terorisme? Apa yang menjadi akar sehingga ia bisa muncul? Dan apa saja yang menjadi bukti bahwa gerakan atau aksi tersebut dapat dikatakan sebagai terror? Secara definisi apabila ditinjau dari aspek etimologis, terorisme berasal dari kata 'teror' yang berarti 'takut', 'cemas'. Dan terorisme dapat diartikan sebagai 'penggentaran' atau 'menakut-nakuti'.
Rekam Singkat Terorisme di Indonesia
Apabila kita cermati dari berbagai peristiwa aksi teror yang pernah terjadi di Indonesia, gerakan ini sebenarnya mengarah kepada salah satu tujuan, yang motifnya relatif serupa, yaitu revolusi untuk menggulingkan sistem pemerintahan yang legal secara konstitusi alih-alih ingin membangun khilafah sesuai pemahaman mereka. Hal tersebut dapat kita lihat secara jelas dari kejadian teror di Markas Besar Polri Jakarta pada (31/03/2021), pelaku teror dalam surat wasiatnya secara tidak langsung menyatakan, bahwa ia menentang sistem demokrasi, pancasila, dan juga UUD serta meminta keluarganya untuk tidak ikut serta dalam kegiatan Pemilu, karena menurutnya siapapun yang terpilih nanti akan membuat hukum yang dinilai mampu menandingi hukum Tuhan.
Jika menilik kepada aspek historis, kemunculan terorisme sebenarnya bukan merupakan sesuatu yang baru bagi Indonesia. Sejak zaman penjajahan, tepatnya pada dekade 1940-an aksi semacam teror politik itu sudah ada dan dikerahkan untuk menjatuhkan penjajah Belanda. S.M Kartosoewirjo merupakan tokoh utama yang dianggap menjadi fundamentalis Indonesia, haluan politiknya berubah semenjak pihak Indonesia dan Belanda menandatangani Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948. Pada sebuah konferensi di Jawa Barat, Kartosoewirjo mengubah organisasi Masyumi Jawa Barat menjadi Islamic Council (Majelis Islam). Kemudian juga organisasi Hizbullah dan Sabililah diubahnya menjadi Tentara Islam Indonesia, yang di mana Kartosoewirjo-lah yang menjadi pemimpin politik dan agama (Umar Ahmad, 1987).
Sebagai sebuah aktivisme, saya meyakini bahwa terorisme bergerak dalam sebuah bingkai sistem yang struktural. Dalam artian terdapat peranan-peranan fungsional. Para pelaku teror saya analogikan sebagai pion-pion yang "dikorbankan" untuk melakukan pengeboman bunuh diri. Sebelum akhirnya nekat melakukan bom bunuh diri, para pelaku teror lebih dulu mendapatkan doktrinasi atau brain washing sehingga mau melakukan hal tersebut.
Orang yang memberikan doktrin atau "ceramah", memiliki peranan fungsional yang lebih tinggi, yang bahkan enggan untuk melakukan pengeboman bunuh diri. Hal ini juga divalidasi oleh Sofyan Tsauri beliau adalah mantan anggota Polres Depok yang sudah menjabat selama 13 tahun. Melalui wawancara langsung dalam podcast salah satu youtuber Indonesia, Deddy Corbuzier, Sofyan Tsauri mengakui bahwa ia pernah terpapar terorisme melalui paham pemikiran Aman Abdurrahman, pimpinan Jamaah Ansharut Daullah (JAD) pada 2010. Dan ia "menjabat" sebagai penceramah sekaligus yang mengetahui dan turut andil dalam persenjataan.
Ia juga menjelaskan bahwa dalam organisasi teroris terdapat jabatan-jabatan yang memiliki peranan fungsional masing-masing, seperti yang menjadi "gudang" persenjataan, penceramah yang melakukan doktrinasi, dan juga eksekutor yang biasanya dijadikan pion sehingga melakukan tindakan bom bunuh diri. Saya menilai fenomena ini sebagai penindasan pola pikir, di mana para calon anggota teroris didoktrin sedemikian rupa hingga kebebasan dan otonomi dirinya menjadi terbatas untuk memilih tetap bertahan hidup.
Mengupas Terorisme dengan Teori Kritis Max Horkheimer
Terorisme lahir dengan banyak dugaan ideologis. Namun yang ingin saya kupas di sini adalah mengenai ideologi yang muncul dari interpretasi keagamaan yang keliru, yang sebenarnya mengarah pada teori tradisional. Dalam pandangan Horkheimer, teori-teori tradisonal cenderung melestarikan, membiarkan dan membenarkan tatanan sosial masyarakat yang pada dasarnya menindas (Sindhunata, 1993). Maksud menindas di sini mengarah kepada penindasan pola pikir pada proses doktrinasi yang dilakukan oleh "penceramah" kepada calon anggota teroris. Hal ini dapat dikatakan juga sebagai praktik-praktik dehumanisasi karena pada akhirnya mengarah kepada "jihad" yang berujung kematian sadis, hal ini menurut teori kritis merupakan sebuah hal yang irrasional.