Lihat ke Halaman Asli

Mengapa Tidak Membentuk Satgas PPKS di Semua Ranah yang Sering Terjadinya Kekerasan Seksual?

Diperbarui: 26 Desember 2022   18:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Peringatan: Artikel opini ini mungkin dapat menciptakan trauma bagi sebagian orang.

Secara singkat kekerasan seksual menurut WHO diartikan sebagai berbagai tindakan yang dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan tindakan seksual atau tindakan lain yang mengarah kepada seksualitas seseorang dengan menggunakan paksaan tanpa memandang status hubungannya dengan korban. Untuk menangani masalah kekerasan seksual, di Indonesia hingga saat ini memiliki dasar hukum yang mengatur kekerasan seksual. Mulai dari UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia hingga UU TPKS yang baru disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI).

Artikel ini tidak berbicara tentang Satuan Tugas Pangan, Keamanan Pangan, dan Kepedulian Sosial, tetapi berbicara tentang Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS). Pada 31 Agustus tahun 2021, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek, Nadiem Makarim, menerbitkan Peraturan Mendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi Indonesia.

Salah satu tujuan dibentuknya peraturan ini adalah agar dapat menjadi landasan hukum bagi berbagai perguruan tinggi dalam menangani dan mencegah kasus kekerasan seksual di lingkungan kampusnya masing-masing. Pada Pasal 27 ayat 1 pada peraturan tersebut menyatakan bahwa keanggotaan Satgas PPKS di perguruan tinggi harus terdiri dari unsur pendidik, tenaga pendidikan, dan mahasiswa. Dengan begitu, akhirnya secara bertahap berbagai kampus di Indonesia sudah mulai meresmikan Satgas PPKS.

Survei yang dilakukan Kemendikbud pada tahun 2020, menyatakan sebanyak 77 persen dosen mengatakan terdapat kekerasan seksual yang terjadi di kampus, tetapi 63 persen diantaranya tidak melaporkan kejadian tersebut karena khawatir terhadap stigma negatif dari lingkungan sekitar. Kasus kekerasan seksual terasa seperti suatu hal yang rumit untuk ditangani dan diselesaikan. Satgas PPKS menjadi salah satu bukti nyata akan hal tersebut. Namun, sayangnya kehadiran Satgas PPKS ini dirasa hanya menangani masalah di ranah pendidikan saja, padahal tempat yang paling sering terjadinya kekerasan seksual bukan hanya di kampus saja.

Menurut laporan Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender Indonesia, Judicial Research Society (IJRS) dan INFID 2022, menyatakan bahwa lokasi yang paling rawan terjadinya kekerasan seksual adalah di tempat umum seperti taman, mal, stadion, dan lain-lain, kasus pelecehan seksualnya mencapai di angka 62,4 persen. Kemudian berdasarkan laporan IJRS lainnya yang paling sering terjadi kekerasan seksual adalah di terminal atau stasiun (61,5 persen), pinggir jalan atau trotoar (59,4 persen), transportasi publik (57,1 persen), media massa atau sosial (45,7 persen), area tempat tinggal (29 persen), dan tempat kerja atau kantor (23,8 persen).

Apabila di ranah kampus sudah terdapat Satuan Pengamanan (Satpam) untuk mengamankan kampus dan masih membutuhkan Satgas PPKS untuk masalah kekerasan seksual, mengapa di tempat lain yang sering terjadinya kekerasan seksual juga tidak menciptakan Satgas PPKS? Apakah harus menjadi warga di suatu kampus terlebih dahulu agar lebih terjamin keselamatannya dari kekerasan seksual?

Sebagai contohnya, apabila terjadi kekerasan seksual di mal, korban bisa langsung melapor kepada Satgas PPKS yang terdapat di mal tersebut dan dibantu dari mulai bukti CCTV hingga ke ranah hukum. Dengan begitu orang-orang yang berkeliaran di tempat umum akan dirasa lebih terjamin lagi keselamatannya dari kekerasan seksual karena ada divisi khusus yang mencegah hal tersebut. Konsepnya tidak berbeda jauh dengan Satgas PPKS di kampus, nantinya mereka membuat pedoman pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, melakukan sosialisasi, dan menindaklanjuti laporan kekerasan seksual.

Sampai saat ini, seseorang yang merasa menjadi korban kekerasan seksual harus melaporkan kejadiannya ke lembaga negara untuk mendapatkan keadilan hukum. Namun, Jika melihat berbagai kasus yang bertebaran di media massa dan media sosial, banyak kasus kekerasan seksual yang berhenti sampai di kepolisian, bahkan banyak pelaku kekerasan seksual berasal dari lembaga pemerintahan itu—biasa disebut sebagai “oknum”. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat selama kurun waktu Juli hingga Juni 2022, terdapat 18 kasus kekerasan seksual yang pelakunya merupakan anggota polisi. Kurang ironis apalagi hanya dalam satu bulan yang tercatat bisa menyentuh angka 18.

Tak hanya itu, belum lama ini Project Multatuli mendalami kembali kejadian yang merugikan korban kekerasan seksual di lingkungan kerja Kemenkop UKM. Selain Polisi yang menindaklanjuti penyidikan setelah kasus tersebut viral, pelaku kekerasan seksual tersebut merupakan senior korban yang bekerja di kantor yang sama. Kasus ini akhirnya diakhiri dengan pernikahan paksa antara korban dan pelaku oleh Polisi. Kemudian setelah diusut lebih lanjut lagi, terdapat fenomena nepotisme yang membuat kasus tersebut tidak tuntas.

Dengan banyaknya kasus yang bertebaran di media massa dan sosial tersebut, dirasa membuat publik makin kurang percaya untuk melaporkan kasus mereka ke pihak yang berwenang. Namun, apabila terdapat Satgas PPKS di berbagai sektor publik, saya rasa dapat membantu korban untuk berani melapor dan yang terpenting adalah dapat menekan angka kekerasan seksual itu sendiri karena ada pengawas dan kebijakan di lingkup yang lebih kecil lagi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline