Jubah malam membungkus kotaku. Menelan langit sebelum fajar. Keheningan mencekik telinga seperti paru-paru di dasar samudra.
Irama fals jantung menjaga darah tetap beredar di balik kulit. Air mata mengalir ke bawah daguku. Aku berdiri di depan rahang penyesalan yang menganga. Bisakah waktu menyelamatkanku sekarang?
Ingin ku berlari menabrak dunia di hadapanku, yang sedang melatih nyanyian pujian yang sudah lama kulupakan; seakan ingin melukis rona merah di pipiku.
Kemarin aku berlutut di depan rahang itu saat senja. Udara senja menggugah lolongan kesakitan jiwaku. Akankah malam ini indah? Terdengar serpihan doa kepada Cahaya bulan 'malam kudus', Akankah kau datang menjalin keheningan dan air mata menjadi haru?
Jiwaku bangkit menuju hawa dingin yang perlahan menghangat, membelai awan dengan tangan menangkup air mataku sendiri. Jantungku terbakar seperti tumpukan kayu yang membara. Biarkan aku bangkit melihat bintang pagi yang mewah itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H