Kejatuhan spektakuler negara Afghanistan yang didukung AS selama 20 tahun ke tangan Taliban telah mengirimkan gelombang kejutan ke seluruh dunia. Runtuhnya Tentara Nasional Afganistan (ANA), pelarian Presiden Ashraf Ghani, dan kekacauan berikutnya pasti akan membayangi kredibilitas AS dalam konteks situasi keamanan regional yang semakin tak terduga.
Gambar-gambar putus asa dari orang-orang Afghanistan yang berusaha keluar dari Kabul minggu ini menorehkan titik penting dalam sejarah dunia. Keruntuhan pemerintahan Afghanistan yang didukung Amerika Serikat menandakan bahwa akhir era Amerika telah tiba jauh lebih pagi.
Tentu saja Paman Sam akan tetap menjadi suatu kekuatan besar selama bertahun-tahun ke depan tapi seberapa besar pengaruhnya di dunia akan tergantung pada kemampuannya untuk memperbaiki masalah internal, daripada kebijakan luar negerinya.
Mulai dari runtuhnya Tembok Berlin pada tahun 1989 hingga ke seputaran krisis keuangan pada 2007-09 merupakan periode puncak hegemoni Amerika yang berlangsung kurang dari 20 tahun.
AS dominan dalam banyak bidang saat itu antara lain militer, ekonomi, politik, dan budaya. Puncak keangkuhan Amerika adalah invasi militer Irak pada tahun 2003, ketika itu mereka mengharapkan membantu tidak hanya Afghanistan (setelah diduduki dua tahun sebelumnya) dan Irak, tetapi seluruh Timur Tengah.
Negara adidaya ini sudah salah melebih-lebihkan efektivitas kekuatan militer untuk membawa perubahan politik yang bersifat fundamental.
Gambaran suram dari Afghanistan memproyeksikan batas kekuatan militer Amerika dan ketidaksesuaian antara tujuan dan alat yang tersedia untuk mencapainya. Amerika dilaporkan telah menghabiskan dana militer sebesar US$ 83 miliar (Rp 1.189 triliun) di Afghanistan (dikutip dari nytimes, 14/8/2021), tapi tetap saja, banyak orang yang menyatakan ketidakberhasilan AS dalam pembangunan di sana, setidaknya kenyamanan bernegara.
Namun masa depan kekuatan Amerika tidak terlalu bergantung pada kekuatan militer daripada pada perubahan demografis yang terjadi di AS sendiri.
Jika kita menyimpulkan hasil pengamatan Hans Rosling, pria yang menghabiskan separuh hidupnya mengamati demografi dunia, maka dalam dua dekade mendatang Amerika akan berevolusi dari negara mayoritas kulit putih menjadi "negara pluralitas" yaitu sebuah negara di mana tidak ada kelompok ras atau etnis yang menjadi mayoritas.
Amerika harus mencari cara untuk memanfaatkan manfaat besar dari keberagaman suku bangsa, atau membiarkan ketegangan demografis menghancurkannya.