Katanya...
jangan bicarakan puisi, sebelum selesai ditulis, bisa bawa sial.
Jika membiarkannya keluar terlalu dini, ia akan terbang.
Kali ini, mereka benar.
Aku menyaksikan puisi ku terbang ke depan bar dan menunggu di sana sampai pelanggan berikutnya masuk.
Lalu aku melihatnya terbang keluar dari pintu yang terbuka menuju malam dan berlayar pergi.
Aku hanya bisa membayangkannya, hinggap di atas rumah di kota yang minim cahaya ini.
Yang ingin ku katakan, puisi itu pengajar yang brilian, seperti pisau cukur, cepat mengajar hanya dengan satu atau dua goresan miring.
Malam ini...
aku pulang sendirian tanpa puisi berayun di sangkar hatiku kecuali harapan samar bahwa mungkin aku sekilas melihat sayapnya mengibas cahaya, mungkin bertengger di rambu jalan atau lampu jalan.
Burung tak tertulis yang malang, sayapnya terlipat, menatapku dengan mata kecil yang bersinar.
Sesna, 13 Februari 2021.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H