Mengenai pendidikan di Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 yang mengesahkan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita menegaskan bahwa pendidikan merupakan hak setiap individu. Kewajiban penyelenggaraan pendidikan menjadi sebuah tanggung jawab orang tua bagi anak-anaknya, orang yang memiliki sumber daya terhadap mereka yang tidak memiliki, serta negara terhadap seluruh rakyatnya (Ulya, 2018).
Konstitusi Indonesia secara jelas mengatur masalah pendidikan, baik dalam pembukaan maupun isi substansinya. Tujuan negara, sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Prinsip ini juga tercermin dalam Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen IV yang menegaskan hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan, dengan kewajiban bagi pemerintah untuk menyediakan pendidikan dasar secara gratis.
Dalam Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) atau Konvensi Anti Diskriminasi terhadap Perempuan dalam Pasal 10 disebutkan bahwa negara-negara peserta, termasuk Indonesia, diwajibkan untuk mengambil langkah-langkah yang sesuai dan efektif guna menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (Handayani, 2002).
Tujuannya untuk memastikan bahwa perempuan memiliki akses setara dengan laki-laki dalam semua aspek pada bidang pendidikan dan agar menghilangkan semua konsep stereotip yang membatasi peran dan kemampuan perempuan dalam masyarakat. Meskipun prinsip kesetaraan gender menekankan pada pencapaian hak dan kewajiban perempuan yang setara dengan laki-laki, realitasnya, diskriminasi berdasarkan jenis kelamin masih merajalela di berbagai sektor kehidupan, termasuk pendidikan, yang memerlukan upaya serius dan berkelanjutan untuk diatasi.
Berbagai fenomena dalam dunia pendidikan sekolah menunjukkan bahwa stereotip gender belum sepenuhnya tereliminasi. Contohnya, pada level pendidikan dasar, materi pelajaran seringkali masih menampilkan perbedaan gender yang kental. Misalnya, terdapat kecenderungan bahwa beberapa mata pelajaran dianggap lebih cocok untuk satu jenis kelamin daripada yang lainnya.
Rendahnya tingkat pendidikan perempuan juga menjadi penyebab munculnya berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan. Keterbatasan akses pendidikan bagi perempuan dapat mengarah pada pengetahuan yang minim tentang hak-hak mereka dan membuat mereka lebih rentan terhadap situasi yang merugikan.
Bukan hanya itu, stereotip yang masih kuat di masyarakat, seperti pandangan bahwa menjadi ibu rumah tangga lebih baik daripada berkarir, serta stigma terhadap wanita yang memilih jalur karir, dapat menghambat kemajuan perempuan dalam mencapai aspirasi dan potensi penuh mereka. Dampaknya, motivasi perempuan untuk mengejar karir atau meraih impian mereka dapat terkikis oleh tekanan sosial dan ekspektasi yang tidak adil.
Dalam prioritas pembangunan responsif terhadap gender serta dukungan terhadap pengarusutamaan gender dapat dievaluasi dengan analisis data yang terpisah berdasarkan jenis kelamin diperlukan. Aspek-aspek yang menjadi tolak ukur dari pencapaian pembangunan berbasis gender akan memperlihatkan gambaran jelas adanya bentuk kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam tercapainya pembangunan. Saat ini Angka Partisipasi Murni (APM) menunjukan bahwa perempuan di semua tingkat pendidikan telah tercapai hingga 100%, yakni memiliki peluang yang setara dengan laki-laki dalam mengakses pendidikan di semua tingkat. Hal ini mencerminkan kebijakan kesetaraan gender di bidang pendidikan di Indonesia yang sudah diterapkan berjalan secara efektif. Meskipun demikian, evaluasi terus diperlukan untuk memastikan bahwa kesetaraan tersebut tidak hanya terwujud dalam akses, tetapi juga dalam target dan kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki dalam mencapai potensi mereka di dunia pendidikan.
Meskipun kesenjangan angka partisipasi pendidikan semakin berkurang, hal ini tidak menandakan bahwa persoalan gender dalam pendidikan telah terselesaikan. Penurunan kesenjangan tersebut hanyalah salah satu indikator empiris yang dapat diamati, namun masih meluasnya gejala dari kesenjangan gender yang jauh berbahaya dan tidak terlihat secara langsung (latent gaps), terutama dalam proses pembelajaran. Beberapa gejala ini termasuk kurangnya sensitivitas gender dalam pembelajaran, di mana laki-laki sering diberi peran yang lebih dominan dalam berbagai aspek, seperti diskusi kelompok, organisasi siswa, dan memimpin kelas.
Selain itu, laki-laki juga cenderung mendominasi dalam jajaran Manajemen pendidikan, baik di ranah struktur birokrasi pendidikan daerah maupun dalam administrasi harian unit-unit pendidikan lainnya. Meskipun minat partisipasi perempuan masih dibawah laki-laki, akan tetapi mereka cenderung memiliki tingkat ketahanan yang lebih tinggi, terbukti dengan tingginya tingkat retensi siswa perempuan di semua jenjang pendidikan. Hal tersebut memperlihatkan bahwa meskipun ada peningkatan akses, tantangan seputar kesenjangan gender dalam pendidikan masih perlu diatasi secara menyeluruh, termasuk dalam hal peran dan partisipasi laki-laki serta perempuan dalam berbagai aspek pendidikan.
Menurut penelitian oleh Prastiwi dan Rahmadanik pada tahun 2020, usaha dalam pengupayaan kesetaraan gender dalam sistem pendidikan nasional, ada kebutuhan untuk merevisi tujuan pendidikan agar mencakup aspek gender secara lebih menyeluruh. Salah satu saran formulasi tujuan pendidikan yang disesuaikan adalah antara lain:
- Memastikan ketersediaan dalam peluang mendapatkan pendidikan yang merata di semua jenis, jalur dan tingkatan pendidikan dengan memprioritaskan dan mengedepankan kesetaraan gender sebagai prinsip utama.
- Mendorong peningkatan kualitas dan efisiensi pendidikan dengan cara pemberdayaan potensi perempuan dengan maksimal, baik dalam peran sebagai pelaksana kegiatan pembelajaran, penulis buku, pengelola pendidikan, pengembang kurikulum, ataupun menjadi peserta didik yang aktif dan berpotensi.
- Mengurangi disparitas gender di berbagai bidang studi, jurusan, dan bidang kejuruan pada semua tingkat pendidikan menengah sampai tingkat tinggi untuk mencapai adanya kesetaraan gender dalam keahlian, pemilihan karir, dan peluang profesional.