Lihat ke Halaman Asli

Dea Nova Tiara HG

Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara, Universitas Lampung

Ketika Elit Politik Berucap, Etika pun Mengungkap: Gentingnya Etika Pejabat Publik dalam Menjalankan Tugas

Diperbarui: 18 April 2023   16:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dinamika perjalanan panjang terhadap kasus korupsi yang terjadi di Indonesia ini, seiring dengan perkembangan zaman pelaku korupsi pun semakin ramai dilakukan oleh para pejabat publik. Kini mulai terlihat dari gerungan perintah presiden bahwasanya pejabat publik tidak boleh pamer harta. Akan tetapi, sebenarnya bukan itu tujuan yang paling utama untuk menyikapi fenomena pejabat korupsi yang sedang ramai terjadi aksinya. Ketika mulai berkaca dari zaman Orba yang saat itu melibatkan banyak pemangku kepentingan dan hanya bisa dikendalikan oleh pak Harto, saat ini memasuki pada zaman bahwasanya budaya korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara semakin menjadi dan semakin dinormalisasi oleh berbagai fraksi partai politik yang berkepentingan duduk dibangku pemerintahan Indonesia. 

Korupsi terjadi ketika pejabat publik mulai menormalisasi hal itu untuk dilakukan. Kenyataannya, penanganan kasus korupsi di Indonesia semakin memburuk terlihat dari merosotnya skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) empat poin yang terjadi pada tahun 2021 sebanyak 38 menjadi 34 di tahun 2022. Diketahui bahwa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) sebagai indikator untuk mengukur persepsi korupsi disektor publik berbagai negara seluruh dunia. Dalam pemeringkatan IPK, semakin tinggi nilai Indeks suatu negara, maka semakin rendah korupsi yang terjadi di negara tersebut. Hal ini mencerminkan bahwa pemerintah masih belum dapat memperbaiki pelayanan publik yang bersih dari perilaku korupsi. Korupsi terjadi sebab etika profesi oleh masing-masing pejabat publik tidak sepenuhnya diterapkan dan didukung oleh pengetahuan dalam sebuah organisasi. Penerapan etika profesi pada pejabat publik akan menjadi acuan terhadap kode etik bagi para pejabat publik agar menjadi professional mengenai tugas dan tanggung jawab yang seharusnya dijalankan.Terlihat dari banyak kasus korupsi yang sudah dinormalisasi oleh pejabat publik ini, dari hal ini saja sudah tercermin etika profesi dan profesionalitas mereka terhadap tugas dan tanggung jawab mereka sebagai pejabat publik yang mulai dilanggar dan disepelekan hanya untuk mengejar keuntungan pribadi bagi fraksi partai politik mereka saja. 

Setiap kebijakan yang diambil merupakan ketentuan atau peraturan yang sesuai dengan tujuan dari pemegang kekuasaan itu sendiri. Di sinilah potensi korupsi paling besar. Manusia terprogram untuk mengkonsumsi, atau paling tidak untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Akibatnya, sangat mungkin kebutuhan pribadi tetap mengalahkan kewajiban manusia, yang seharusnya menuntut seseorang untuk dapat berperilaku bersih dan mengutamakan kepentingan umum dan moral. 

Banyak sekali pejabat publik yang saat ini terjerat kasus korupsi, bila sudah terjerat kasus korupsi maka pejabat publik tersebut secara aktual telah melanggar etika profesi dalam pekerjaannya. Lagi-lagi dilakukan oleh pejabat publik otoritas pajak dan bea cukai. Seperti kasus Rafael Alun, mantan pejabat Direktorat Jendral Pajak (DJP) yang menjadi tersangka dugaan kasus gratifikasi menerima sebesar uang 90 ribu USD bila dikonversikan ke rupiah dengan kurs Rp 15.000 menjadi sekitar 1,3 miliar. Gratifikasi merupakan pemberian uang, barang, dan lainnya kepada pemberi layanan tanpa adanya penawaran, transaksi atau deal untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam pasal 12B ayat 1 Undang-Undang No.31/1999 jo Undang-Undang No.20/2001 tentang perubahan atas undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak pidana korupsi, berbunyi: "setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Selanjutnya, menurut Mahfud MD, Menko Polhukam mengungkapkan bahwa terdapat dugaan TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) impor emas batangan di Direktorat Bea Cukai Kemenkeu sebesar Rp 189 triliun yang dalam surat cukainya, impor tersebut masih berupa emas mentah nyatanya berupa emas batangan, tapi setelah diselidiki ternyata Direktorat Bea Cukai berdalih bahwa emas tersebut telah dicetak di Surabaya. 

Kilas balik pada tahun 2012 terdapat pejabat publik yaitu mantan ketua Mahkamah Konstsitusi (MK), Akil Mochtar, pernah mencentuskan ide hukuman untuk para koruptor yaitu dengan potong jari, tetapi setahun kemudian, akil ditangkap dalam OTT KPK dengan dugaan kasus suap dan sengketa hasil pemilu di MK. 

Banyak sekali contoh aktual pejabat yang melakukan hal korupsi lainnya, namun sampai saat ini pemerintah tidak tegas dalam menindaklanjuti permasalahan pejabat publik yang korupsi. Bahkan, Mahfud MD, Menteri Polhukum yang banyak mengungkapkan berbagai dugaan kasus korupsi dalam sidang rapat kerja di DPR dengan Komisi III DPR RI dan Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Komite TPPU) pada Rabu, 29 Maret 2023 lalu saja pada saat mengunggapkan secara terang-terangan terkait polemik transaksi mencurigakan yang menyangkut koordinasi kementerian dan lembaga mendapat pengingat untuk jangan mengusik 'kotoran' pejabat. Dalam hal ini, Mahfud yang merupakan menteri Polhukum dalam arti seorang ketua yang berhak mendapatkan laporan terkait transaksi mencurigakan yang dilakukan para pejabat saja sudah dikecam oleh banyak pejabat pada saat itu. Pada saat itu, terbitlah cetusan untuk mendukung undang-undang perampasan asset bagi pejabat yang terduga korupsi sebagai bentuk upaya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, tetapi lagi dan lagi telah dijawab bahwasanya untuk dapat mendukung sebuah undang-undang perampasan asset tersebut harus dengan perizinan petinggi yang punya kewenangan tertinggi di masing-masing fraksi partai politik. Jadi artinya, bila petinggi dalam fraksi partai politik tersebut tidak diuntungkan terhadap cetusan tentang undang-undang perampasan asset untuk pemberantasan korupsi, maka cetusan undang-undang perampasan asset tersebut tidak akan disetujui dalam realisasinya untuk memberantas korupsi para pejabat. 

Dengan begitu, pemberantasan korupsi di Indonesia semakin jauh untuk dapat diperbaiki dari segi pelayanan publik yang diberikan oleh para pejabat publik, yang dalam hal ini tercermin dari gentingnya etika yang dimiliki pejabat publik yang terus menerus dilanggar dan didukung secara abnormal oleh organisasi partai politik yang menaungi mereka. Dari banyaknya kasus yang menerpa para pejabat publik diatas, dapat dianalisis bahwa etika-etika administrasi publik yang seharusnya ditanamkan oleh para pejabat publik namun ternyata membuahkan sesuatu yang memilukan. Bagaimana tidak, ketika masyarakat menggaung- gaungkan para aparat publik yang dapat membantu mengatasi segala persoalan masyarakat namun justru mengecewakan. Banyak drama yang diperbuat oleh para aparat publik untuk menutupi segala bentuk perbuatan yang tidak mencerminkan etika administrasi publik. Bahkan banyak sekali keluhan dari masyarakat yang membicarakan bahwa suasana hati dari aparat publik turut mempengaruhi bagaimana cara mereka melayani dan membantu masyarakat. Atas dasar tersebut, masyarakat sangat kecewa dengan tingkah para oknum aparat publik yang sama sekali tidak mencerminkan etika administrasi publik. Banyaknya kasus korupsi dan tidak terjalankannya tugasnya secara professional dikarenakan tugasnya dalam membantu dan melayani masyarakat sangat bergantung kepada suasana hati mereka. 

Banyaknya pelanggaran peraturan dan etika administrasi publik di Indonesia sangat tidak mencerminkan status dan jabatan dari aparat publik. Bahkan dapat dikatakan bahwa para pejabat publik ketika berkata ke kiri namun tindakannya ke kanan. Artinya, kata-kata yang dilontarkan oleh pejabat publik tersebut tidak sesuai dengan bagaimana ia bertindak. Sangat disayangkan, etika dan integritas pejabat publik belum ditegakkan secara optimal. Yang sampai saat ini masih menjadi pertanyaan ialah apakah kepatuhan-kepatuhan para pejabat publik untuk menegakkan dan menerapakan etika-etika administrasi publik sudah dievaluasi. Data-data dari keluhan masyarakat mengenai lunturnya etika administrasi publik seharusnya dapat diproses dan ditindaklanjuti. Hal ini penting karena pejabat publik adalah salah satu aparat yang dekat dan bertugas untuk membantu masyarakat. Banyak insiden yang melibatkan dugaan penyalahgunaan wewenang terungkap, menunjukkan tidak adanya rasa tidak hormat terhadap norma etika dalam birokrasi federal. Kurangnya perhatian atau pengabaian etika dalam prosedur administrasi publik menunjukkan adanya masalah etika dalam administrasi publik. Pada kenyataannya, etika merupakan aspek kritis dalam menentukan keberhasilan operasional entitas bisnis dan pemerintah. Ini karena cita-cita moral tertanam di seluruh prosedur operasional pemerintahan. 

Dalam pemerintahan saat ini, etika sering jatuh ke posisi kedua. Etika tampaknya tidak berarti dan tidak menarik untuk diperdebatkan dalam birokrasi pemerintah. Akibatnya, penyalahgunaan wewenang tidak hanya terjadi di tingkat pusat, tetapi juga di daerah. Konsep standar moral dan etika diciptakan agar dapat diterapkan dalam kehidupan bernegara dan ruang lingkup administrasi yang ada dalam administrasi publik. Hanya sampai pendekatan etis seperti itu benar-benar dimasukkan ke dalam dinamika administrasi modern, keuntungannya akan terwujud. Dalam ranah administrasi publik, gagasan dan teori filosofis tentang moralitas muncul dalam berbagai cara dari aktivitas administrasi sehari-hari. Akibatnya, perdebatan etika administrasi publik tidak bisa eksis dalam ruang hampa; itu harus selalu mencakup diskusi tentang bagaimana itu harus diterapkan, atau bagaimana birokrat dan administrator harus bertindak sesuai dengan norma etika kontemporer. 

Etika administrasi publik yang terkait dengan berbagai persoalan penyalahgunaan kekuasaan pemerintah merupakan bentuk kontrol terhadap pegawai pemerintah dalam menjalankan tugas, fungsi, dan wewenang utamanya. Ketika administrasi publik ingin dianggap memiliki sikap, perbuatan, dan perilaku yang baik, maka harus bersandar pada etika administrasi publik dalam menjalankan tugas pokok, fungsi, dan wewenangnya. Etika administrasi publik dapat dijadikan sebagai tolak ukur untuk menilai baik buruknya sikap, perilaku, dan kebijakan, selain sebagai pedoman atau acuan. Etika sebagai menu yang sangat dibutuhkan dalam proses pelayanan publik ternyata belum sepenuhnya diterapkan secara merata oleh pejabat publik. Sejatinya sebagai pejabat publik harus bersikap baik. Azaz kepatuhan dan azaz kepantasan bukan merupakan sesuatu yang berlebihan. Karena masyarakat selalu merasa adanya koneksi terhadap kepercayaan tersebut dari tingkah laku para pejabat publik. 

Banyak kesulitan yang konon ditemukan sebagai akibat dari kurangnya perhatian terhadap etika administrasi publik dan pengabaian etika dalam penyelenggaraan administrasi publik. Memang, etika merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi efektivitas operasi organisasi dan pemain administrasi publik. Karena prinsip etika selalu hadir di seluruh proses kegiatan administrasi publik, mulai dari perancangan struktur organisasi, pembentukan kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. Etika administrasi publik ini merupakan semacam kontrol terhadap pejabat publik dalam menjalankan tugas, wewenang, kewajiban, dan fungsinya. Ini terkait dengan berbagai macam penyimpangan etika. Ketika penyelenggara menginginkan sikap, tindakan, dan perilaku yang positif, maka wewenang dan tanggung jawabnya dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya harus selalu berpijak pada etika administrasi publik. Etika administrasi publik harus diterapkan dalam kriteria untuk menetapkan sikap, perilaku, dan kebijakan, selain digunakan sebagai pedoman. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline