Lihat ke Halaman Asli

Dean Ardeanto

Atlet gundu profesional

Perjalanan Paling Menyedihkan

Diperbarui: 9 Juni 2024   08:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen pribadi

TIDAK ada perjalanan paling menyedihkan bagiku, selain perjalanan ketika meninggalkan kampung halaman. Itulah, yang kurasakan tahun lalu, saat harus pergi meninggalkan desa tempat kelahiranku tercinta.

Masih teringat dalam benakku, kala itu adalah Sabtu, 29 April 2023. Aku terbangun sekitar pukul 07.00, dan dengan segera mandi untuk kemudian bersiap diri. Kukemas setelahnya barang-barang yang akan kubawa. Untuk akhirnya kemudian aku termenung lama, meratapi kepergian yang berlangsung tinggal beberapa jam lagi.

Kesedihan membuatku pergi keluar menuju ke halaman depan. Baru saja kulalui ruang tengah di mana aku menemukan kedua adikku asyik bercanda bersama keponakanku. Mereka nampak ceria. Sungguh tak ada sedih sedikit pun di raut mereka untuk meninggalkan desa ini.

Sesampainya di halaman depan, mataku menatap penuh ke kebun depan rumah yang dipenuhi kenangan. Itu adalah kebun di mana dulu aku menghabiskan masa kecilku. Banyak hal yang kulalui di kebun itu, mulai dari bermain petak umpet, memetik berbagai macam aneka buah dan sayuran, sampai ke bertualang menangkapi serangga yang hinggap di kebun itu. 

Semua memori itu, membuatku termenung lama untuk akhirnya kuingat lagi hal-hal lain yang kulakukan di kebun itu. Itu membuatku semakin sedih, dan tak rela untuk meninggalkan desa ini.

Aku menyulut sebatang rokok. Kuhempaskan asapnya untuk kubiarkan ia menggelung-gelung di udara. Tanganku lalu meraih secangkir kopi hangat, untuk kemudian kusesap kopi itu perlahan-lahan. 

Mataku kembali lurus menatap ke kebun, fokus kali ini melihat ke dedaunan yang menari mengikuti alunan angin. Ada tenang yang merambat setelah menatap lagi kebun itu tanpa memikirkan apapun. Ada damai yang kurasakan, meski akhirnya nanti aku akan dipertemukan oleh perpisahan yang tak terelakan.

Kebun depan rumah (dokumen pribadi)

Sekitar pukul 09.00, pamanku menelepon, memberi tahu bahwa jam penjemputan dimajukan. Dari yang tadinya jam 12.00, menjadi satu jam lebih awal jam 11.00. Tak apa pikirku. Aku dan keluarga bahkan tidak merasa keberatan. Meski waktuku di kampung halaman menjadi lebih singkat, namun kuanggap itu sebagai bagian dari sesuatu yang tak terhindarkan.

Aku memasuki kamar, menemukan adik dan keponakanku yang kini mulai sibuk mengemas barang-barang. Terdapat ibu di ruang tengah, bersama adikku yang pertama, yang juga sibuk memasukkan banyak oleh-oleh untuk dibawa pulang. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline