Lihat ke Halaman Asli

Dean Ardeanto

Atlet gundu profesional

Masa Kecilku: Demi Bermain Playstation

Diperbarui: 8 Januari 2024   08:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: Pixabay.com/Pexels

GUE masihlah seorang bocah ingusan, dengan kepala bau Matahari, dan ketek bau walang sangit ketika PlayStation 2 sedang hangat-hangatnya diperbincangkan. Umur gue masih sepuluh tahun kala itu, saat hampir setiap anak yang gue temui selalu membicarakan tentang betapa serunya main PlayStation 2. Sontak lama-lama pikiran gue teracuni. Dari yang tadinya cuma ngedengerin cerita mereka, lama-lama jadi kepengin main. Gue lantas bertanya dalam hati, 'gimana, ya, rasanya memainkan pe'es dua yang fenomenal itu?'

Rasa penasaran membawa gue akhirnya datang ke Nyokap pada suatu siang hari, berkata, "Bagi duit dong, Ma!"

"Buat apaan?" tanya Nyokap, menoleh. Tangannya sibuk menyetrika baju.

"Buat main pe'es. Murah, kok, Ma. Sejamnya cuma tiga rebu."

Mendengar kata murah, yang disandingkan dengan nominal tiga ribu, mata Nyokap melotot. Ia lalu dengan segera menyergah, "ITU MAHAL!"

"Tapi, itu udah tergolong murah kalo main di rental Bang Maman. Di rental lain malah ada yang empat rebu sejam."

"EH, ANAK TUYUL! LU DENGERIN, YE!" Nyokap meninggikan nada suaranya. Tangannya berkacak pinggang. "TIGA REBU ITU CUKUP BUAT JAJAN LU SELAMA TIGA HARI! TI-GA-HA-RI! SANA PERGI! MENDING MAEN YANG NGGAK PERLU NGELUARIN DUIT AJA!"

Sontak mendengar itu gue langsung ngacir kayak kucing garong yang bijinya diolesin balsem. Setahu gue, kalo dia sudah ngomong sama anaknya pake 'gue-elu', itu berarti amarahnya sudah meledak. Gue nggak mau, tuh, tetap cengo di sana saat doi sudah begitu. Bisa-bisa, besok, gue akan keluar dengan badan lebam-lebam dan tulang rusuk retak dikit (tapi nggak ngaruh).

Nggak dikasih duit buat main PS, membuat gue hanya bisa bengong setiap kali teman-teman cerita soal pengalamannya main PS 2. Seperti di sekolah misalnya, gue cuma bisa diam melongo acap kali mereka ngomongin tentang game PS 2. Momen itu membuat gue merasa seperti kambing congek: diam, celingak-celinguk nggak jelas, nggak tahu harus apa dan gimana. Itu membuat gue lalu jadi sering dicuekin ketika ngumpul dengan teman-teman di sekolah.

Namun, di antara teman sekelas yang ngomongin PS 2, ada satu teman yang gue tahu uang jajannya sedikit, tapi entah kenapa dia bisa fasih betul nyeritain pengalamannya main PS 2. Nama anak itu Surip. Dia adalah anak yang gue ketahui uang jajannya cuma seribu perak seperti gue.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline