Menyebut Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), benak kita tidak akan jauh dari bayangan rakyat kecil yang berjualan aneka barang kebutuhan hidup. Tidak perlu datang ke pusat keramaian di kota, di warung sekitar rumah kita, toko di pinggir jalan, tukang jual nasi uduk, tukang bakso, hingga jasa foto kopi. UMKM mudah kita temui.
Meski pun terlihat kecil, nyatanya aktivitas ekonomi UMKM merupakan kontributor terbesar bagi Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Data tahun 2021 silam menunjukkan UMKM berkontribusi Rp. 8.573 Trilyun, atau 61,07% terhadap total PDB Indonesia. Ada sekitar 119,6 juta jiwa, atau 97% tenaga kerja Indonesia yang diserap oleh 64,2 juta UMKM di Indonesia. Dari jumlah tersebut, 99% merupakan usaha mikro, sisanya merupakan usaha kecil dan menengah.
Sejak reformasi bergulir, pemerintah semakin memosisikan UMKM sebagai pilar penting ekonomi Indonesia. Bahkan Presiden Jokowi menyinggung peran strategis UMKM bagi perekonomian dalam pidatonya di hadapan para pemimpin G20, November tahun lalu. Dalam kesempatan tersebut, presiden meminta G20 untuk terus mendorong dan melakukan aksi nyata memperkuat UMKM dalam upaya memulihkan ekonomi dunia.
Meskipun peran UMKM semakin vital bagi perekonomian nasional, UMKM rentan rontok akibat guncangan kecil. Penyebabnya adalah ukuran bisnis, serta terbatasnya kepemilikan aset dan permodalan. UMKM, terutama mikro, sensitif terhadap fluktuasi harga dan ketersediaan bahan pendukungnya.
Tatiek, pelaku UMKM makanan dengan brand Ayam Ungkep Ummu Ayya, menceritakan pengalaman dan pengamatannya. Bagi Tatiek, kegiatan UMKM bagi sebagian besar orang merupakan usaha untuk bertahan hidup. Keuntungan usaha yang dihasilkan oleh pelaku UMKM hari ini digunakan untuk makan keesokan harinya. Esok untuk lusa, begitu seterusnya. Menurut Tatiek, selisih yang bisa disisihkan pelaku UMKM untuk menabung terbilang minim.
Tatiek mengisahkan dilema posisinya ketika harga ayam melambung. Jika harga produknya dinaikkan omzet menurun drastis, sementara jika tidak menaikkan harga, keuntungannya sangat tipis. Setelah memikirkan berbagai pilihan, termasuk pertimbangan nasib karyawan dan agen-nya, Tatiek memutuskan untuk tidak menaikkan harga.
Harapan Tatiek saat itu harga bahan baku akan cepat kembali stabil. Meskipun resikonya keuntungan yang diperoleh Tatiek dari pengolahan setiap ekor ayam sangat minim. Tidak sebanding dengan pengeluaran dan usaha yang dilakukannya.
UMKM Tatiek tertekan cukup lama, karena kenaikan harga ayam saat itu ternyata berkepanjangan. "Kalau nggak memikirkan nasib karyawan dan reseller-ku, saat itu pengennya aku berhenti usaha." kenang Tatiek.
Lain lagi dengan Nani, seorang ibu 2 anak berusia 35 tahun. Nani terpaksa menjadi tulang punggung keluarga ketika suaminya meninggal dunia. Mengandalkan modal awal seadanya, hasil menjual kendaraan peninggalan suaminya, Nani berjualan nasi.
Usaha Nani sempat limbung ketika badai Covid-19 menerjang. Nani kehilangan nyaris 75% konsumennya, ketika kebijakan Work From Home (WFH) akibat pembatasan sosial diberlakukan. Penghasilannya menurun drastis.