Lihat ke Halaman Asli

Irpanudin .

TERVERIFIKASI

suka menulis apa saja

BUMN, Renta dan Rontok di Era Digital

Diperbarui: 19 Juli 2019   07:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar: katadata.co.id

Gojek mendapat suntikan dana dari Visa. Mudah ditebak, kucuran dana dari Visa merupakan apresiasi atas pengembangan Gopay.

Sebagai salah satu lembaga keuangan terbesar di dunia, Visa tentu tidak main-main mempercayakan sejumlah besar uangnya untuk mendukung Gojek. Para visioner melihat Gopay sebagai media pembayaran masa depan. Diperkirakan dalam sekian tahun ke depan, orang semakin meninggalkan uang cetak. Beralih ke pembayaran digital. Gopay adalah  kandidat raja, atau setidaknya salah satu pembayaran dominan, yang menggantikan Rupiah cetak.

Tanda-tandanya sangat kuat. Jika beberapa tahun lalu tidak terbayangkan orang membayar non tunai di warung pinggir jalan, hari ini pedagang kaki lima pun dapat menerima pembayaran non tunai. Tanpa batasan nilai, bayar Rp. 1000 pun diterima.

Core bisnis gojek sejak awal memang bukan bisnis transportasi, bukan pula bisnis pelayanan, tapi bisnis keuangan. Sebuah sistem pembayaran digital yang "menggantikan" dan mengendalikan Rupiah masa depan. Gopay sudah disiapkan dengan hati-hati. Ojek hanyalah pintu pembuka untuk mereka menguasai sistem keuangan melalui pembayaran Gopay.

Tumbuh dan melesatnya pembayaran digital di satu sisi cukup menggembirakan. Jika melihat dari sudut konsumen, hidup kita menjadi lebih sederhana. Singkirkan kartu kredit, tinggalkan kartu debet, dan buang uang receh, smartphone yang kita pegang mampu menggantikan semuanya. Pinjam uang pun bisa. Itu tentu sangat memudahkan kehidupan. 

Tapi dari sisi ketahanan moneter dan kedaulatan keuangan negara, itu bukan kabar yang cukup baik. Kita tahu uang bukan sekedar alat transaksi, melainkan alat kedaulatan negara.

Selain Gopay sekian perusahaan pengembang uang digital, terutama para pemain besar, merupakan lembaga swasta. Ovo bergandengan dengan Grab. Sangat kapitalistik.

Sebagai "pemilik rupiah", negara hanya menyumbang LinkAja yang merupakan gabungan dari beberapa sistem pembayaran digital BUMN. Tapi jika dibandingkan dengan Gopay dan Ovo, LinkAja seperti kurcaci yang sudah sulit bergerak di tengah himpitan para raksasa.

Apa yang membuat LinkAja tidak mampu berkembang? Padahal secara potensi, LinkAja sebetulnya amat sangat bisa menjadi penguasa uang digital di tanah air. T-Cash bahkan lahir jauh lebih awal. Tiba-tiba saja perusahaan antah berantah yang dimulai dari ruko-ruko kecil muncul, mereka tumbuh dan mengalahkan barisan perusahaan  besar yang didukung oleh negara.

Sebelum kelahiran LinkAja, BUMN seperti Telkomsel dengan TCash dan Bank Mandiri dengan MandiriCash, BRI, dan BTN, memiliki uang digital sendiri. Mereka bersaing dan membawa egonya masing-masing.  Seakan tidak sadar bahwa salah satu tugas BUMN, terutama yang bergerak di bidang keuangan, adalah menjadi garda negara untuk menjaga rupiah. Seandainya saja para petinggi BUMN itu mau mengesampingkan ego dan sejak awal membuat kesepakatan untuk menggabungkan sistem keuangan digitalnya, LinkAja (mungkin) memiliki peluang besar untuk menjadi pemimpin pasar. 

Bayangkan jika infrastruktur, jaringan, SDM, serta seluruh aset cair dan cashflow BUMN yang tergabung dalam LinkAja diberdayakan sejak awal, lalu dikelola dengan baik. Sayangnya itu tidak dilakukan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline