Ada 1158 bahasa daerah di Indonesia. Dalam beberapa dekade ke depan, 1158 bahasa itu sebagian besar diperkirakan akan punah karena sudah tidak lagi digunakan dalam keseharian.
Kalangan muda saat ini, terutama mereka yang tumbuh di perkotaan, mungkin tidak terlalu peduli. Toh bagaimana pun juga, realitas menunjukkan kemampuan berbahasa Inggris lebih penting daripada bahasa daerah. Terutama dari sudut ekonomi.
Bahkan seorang presiden sekalipun bisa menjadi bahan olok-olok netizen ketika pelafalan Bahasa Inggrisnya medok berlogat Jawa. Padahal pepatah Inggris mengatakan "Jangan tertawakan orang yang memiliki logat bahasa lain, artinya mereka mampu berbicara selain dalam bahasa Inggris" (sementara kamu cuma bisa Bahasa Inggris).
Bukan hanya Bahasa Inggris, di kalangan yang "terdidik Agama Islam", campuran Bahasa Arab dalam pergaulan dan tegur sapa menjadi hal biasa. Ana, Antum, Syukron, Syafakillah, dan berbagai kosakata Arab sering kita dengar di kalangan "muslim taat". Walau pun sebetulnya kata yang dipakai tadi ada komplemennya dalam bahasa Indonesia.
Bagi sebagian orang Indonesia jika tidak berbahasa asing, sepertinya terlihat kurang pintar. Bahkan barangkali merasa kurang soleh atau kurang bertakwa jika dalam berbahasa tidak ada campuran kosakata Arab. Walau pun entah sejak kapan Tuhan mengukur ketakwaan manusia dari kata asing yang digunakannya.
Tanpa kita sadari perilaku sejenis itu mengarahkan kita menuju sebuah bencana besar: kematian bahasa daerah. Musibah kebudayaan, karena kurangnya kesadaran bahwa bahasa ibu merupakan kekayaan yang tidak ternilai.
Bahasa adalah identitas budaya sebuah bangsa. Bahkan dalam konteks kenegaraan, Bahasa Indonesia yang kita kenal selain menjadi identitas bangsa juga menjadi alat perekat persatuan kebangsaan.
Di banyak daerah di kota besar, orang tua sudah menggunakan Bahasa Indonesia untuk berbincang-bincang dengan anaknya. Bahasa daerah semula menjadi bahasa ibu yang pertama kali digunakan oleh seorang manusia tergantikan Bahasa Indonesia. Menjadi ironis ketika Bahasa Indonesia justru menjadi salah satu pembunuh bahasa daerah.
Lebih ironis lagi adalah Bahasa Indonesia sendiri kemudian mengalami kerusakan. Ketika negara-negara seperti Jepang, Thailand, Vietnam, atau China mempertahankan tulisan dan bahasa aslinya, kita tenggelam dalam polusi komunikasi alay a la ABG.
Budaya pop artis kita yang suka menggunakan bahasa planet lain sebagai cara meroketkan kepopuleran pun memperperah kerusakan bahasa kita.
Guna menyelamatkan bahasa ibu yang terancam punah, berbagai cara ditempuh oleh UNESCO guna mengingatkan setiap bangsa. Salah satunya dengan menjadikan tanggal 12 Februari sebagai hari bahasa ibu. Sebagai hari pengingat, agar setiap bangsa mau tetap menggunakan bahasa ibu-nya.