Lihat ke Halaman Asli

Irpanudin .

TERVERIFIKASI

suka menulis apa saja

Dilema Memberi Sedekah di Jalan

Diperbarui: 15 Mei 2019   02:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kisah Untuk Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Ada beberapa kisah spektakuler tentang gepeng ( gelandangan dan pengemis). Berikut ini saya kutipkan sedikit di antaranya.

Cerita pertama, seorang pengemis yang dirazia petugas satpol PP di suatu daerah ternyata membawa emas dan uang puluhan juta rupiah. Bukan punya orang lain loh, tapi punya dia sendiri. Ketika ditelusuri, ternyata di daerahnya pengemis tersebut merupakan orang kaya dengan rumah megah.

Cerita kedua, lagi-lagi seorang pengemis. Kali ini terciduk netizen sedang membuka pintu mobil lalu masuk untuk mengemudikannya. Videonya heboh di media sosial. Begitu ditelusuri ternyata rumah pengemis tersebut tergolong megah, bahkan konon pengemis tersebut memiliki beberapa orang istri.

Cerita ketiga, konon di suatu daerah terdapat sebuah kampung yang dikenal sebagai kampung pengemis. Anehnya, di kampung rata-rata rumahnya megah dan dapat dikatakan terlihat lebih sejahtera dibandingkan kampung lain di sekitarnya.

Fenomena-fenomena seperti itu tentunya menimbulkan berbagai spekulasi. Apalagi jika dikaitkan dengan fenomena lain seperti kehidupan guru honorer yang memprihatinkan.

Timbul pertanyaan.

Apakah berprofesi mengemis di jalanan lebih menjanjikan dibandingkan menjadi guru atau profesi lain?

Kondisi tersebut bisa dilihat dari beberapa sudut pandang.

Pertama, dari sisi pemberi uang. Seringkali, bahkan kebanyakan orang yang memberikan uang di jalan bukan karena niat bersedekah. Biasanya karena banyak receh, ada sedikit uang sisa belanja, dan sejenisnya. Sehingga nilai sedekah pun relatif kecil, hanya sekitar Rp. 1000, Rp. 2000, atau paling besar Rp. 5000.

Jadi dapat dikatakan bahwa menyumbang di jalan biasanya tidak diniatkan sedekah. Lebih terdorong karena rasa iba, atau sekedar "membuang" receh. Tidak heran bahwa pengemis berkeliaran di kota besar, terutama di pusat keramaian seperti stasiun, terminal atau pasar yang padat dengan orang berlalu-lalang. Ditambah "dramatisasi" dengan berpura-pura cacat atau menjual kekurangannya. Ini karena para pengemis tersebut memanfaatkan kondisi psikologis masyarakat.

Kedua, dilihat dari sudut pengemis. Mengemis barangkali bukan pilihan yang menyenangkan untuk mereka yang menjalaninya. Mungkin pada awalnya demikian. Tetapi setelah berjalan beberapa lama, mengemis ternyata menjanjikan penghasilan yang mampu mengangkat kehidupan ekonomi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline