Di awal abad ke-20, kawanan Serigala terakhir dibantai dari hutan di Amerika Serikat karena alasan pertanian, ekspansi hunian, serta perburuan, serigala dianggap mengancam manusia. Hingga tahun 1995, setelah perjuangan panjang, aktifis lingkungan Amerika memperoleh izin melakukan relokasi Serigala Abu-abu dari Kanada ke Yellowstone National Park.
Relokasi itu bukan tanpa penolakan, sebagian peternak dan petani yang menghuni kawasan di sekitar Yellowstone merasa khawatir Serigala tidak hanya akan memangsa ternak mereka, tetapi juga mengakibatkan korban jiwa. Kenyataannya, setelah Serigala dilepaskan laporan kematian ternak akibat serangan serigala hanya sekitar 250 ekor, jauh di bawah perkiraan. Sementara korban manusia nihil.
Sekitar 20 tahun kemudian, peneliti lingkungan menemukan hal mengejutkan di Yellowstone. Semenjak kehadiran Serigala, Rusa Amerika (Elk) yang menjadi makanan utama Serigala menjadi lebih waspada dan aktif. Mereka yang biasanya bergerombol dalam jumlah besar memecah diri menjadi kelompok-kelompok kecil. Tetapi tidak hanya Rusa, juga Berang-berang, Burung, Reptil, serangga kecil, pohon Willow yang tumbuh lebih subur, bahkan rerumputan pun berreaksi terhadap kembalinya predator puncak.
Fakta lain yang paling mengejutkan adalah: ternyata aliran air sungai, bebatuan di sungai, hingga kontur tanah juga turut berubah. Seakan memiliki ruh, mereka mengikuti aktifitas makhluk hidup di sekelilingnya. Ekosistem di Yellowstone National Park menjadi lebih sehat setelah nyaris 70 tahun ditinggalkan sang Raja Hutan Amerika.
Bagaimana dengan Indonesia? Kita tidak menyadari, atau mungkin tidak mau tahu, beberapa dekade lalu kita pernah mengalami bencana alam paling besar karena Harimau musnah dari hutan di Jawa. Lalu hutan-hutan lain di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, hingga Irian, menyusul jejak Jawa, dalam kondisi kritis kehilangan "Raja" karena predator puncaknya dianggap hama lalu diburu manusia.
Hari ini, ketika kita menemukan berbagai bencana lingkungan sejenis banjir, tanah longsor, hilangnya sumber air bersih, dan gagal panen akibat hama, sebenarnya kemungkinan sangant besar diakibatkan ketiadaan Predator puncak di hutan. Sehingga hutan kehilangan keseimbangan yang terjaga ratusan tahun tanpa campur tangan manusia. Bahkan mungkin lebih dari itu, karena kita sudah tidak lagi memiliki hutan dalam luasan yang cukup.
Di hutan di Jawa, wacana kontroversial yang patut dipertimbangkan adalah melakukan Relokasi Harimau ke habitat aslinya. Dari studi di Yellowstone National Park, keberadaan predator puncak terbukti sangat vital menjaga keseimbangan lingkungan.
Banyak ayat dalam kitab suci yang memperingatkn manusia tentang lingkungan, atau bahkan sekedar bercerita mengenai pohon, buah-buahan, serangga, dan lautan. Perintah Tuhan semesta alam untuk mencintai dan menjaga lingkungan. Tapi sang khalifah lupa, seakan agama hanya soal agar manusia lain memuja Tuhan dengan cara yang seragam, sementara setiap hari kita menzalimi alam dengan sampah plastik, deterjen sisa cucian, dan asap knalpot.
Manusia ditunjuk langsung oleh Tuhan semesta alam menjadi khalifah di bumi, tapi yang selalu kita lakukan adalah melanggar aturan Tuhan pencipta alam dengan berbuat kerusakan di daratan dan lautan. Tercatat hewan seperti Burung Dodo, Harimau Bali, Harimau Tasmania, Badak Hitam Afrika, berbagai jenis burung, kupu2, sekian banyak hewan dan berbagai jenis tumbuhan punah. Tidak pernah ada dlm sejarah alam semesta, makhluk hidup yang membuat makhluk lain punah dlm jumlah massif, kecuali manusia pelakunya. Kita yang hidup di daerah urban datang ke kebun binatang, tanpa rasa bersalah, berwisata menonton hewan kelaparan di dalam kandang. Inikah potret khalifah?
Jika ditanyakan: apakah Indonesia membutuhkan khalifah? Jawabannya: Sangat. Tapi khalifah dalam pengertian asli. Khalifah yang menjunjung ketinggian akhlak saat berinteraksi dg makhluk hidup lain, tumbuhan, tanah, udara, dan mengelola lingkungan. Lebih dari itu, khalifah yang bisa berbagi kekuasaan dengan makhluk lain. Konflik manusia dengan "hewan buas", "hama" dan "ancaman" di hutan sesungguhnya berasal dari cara pandang manusia yang melihat makhluk lain sebagai gangguan, bukan "partner".
Barangkali, jika kita tidak mampu menjadi khalifah yang baik di muka bumi, karena hanya mengurus kepentingan dan nafsu serakah spesies kita dlm bingkai modernisasi, pertumbuhan ekonomi, industri, dan politik, setidaknya biarkanlah satu kawasan liar dipimpin oleh raja hutan yang sejati. Hutan di Jawa dan Sumatera membutuhkan kembalinya Sang Raja, sebagaimana Serigala di Yellowstone National Park, agar keseimbangan alam tetap terjaga.