[caption caption="bauran energi Indonesia 2025"][/caption]Dahi saya berkerut ketika membaca sebuah artikel. Di situ disebutkan bahwa tahun 2013 lalu Venezuela memulai langkahnya untuk memimpin pemanfaatan energi alternatif di wilayah Amerika Selatan. Alih-alih memacu produksi migas dari cadangan minyak bumi real sebesar 297 Milyar Barrel yang dimilikinya, untuk periode 2019-2031 Venezuela mencanangkan alih energi ke sumber energi terbarukan. PDVSA, alias Pertamina-nya Venezuela, segera merespon program tersebut dengan langkah nyata, di antaranya membangun komplek perumahan karyawan PDVSA yang sepenuhnya ditenagai oleh Pembangkit Listrik Tenaga Surya di kawasan Punta de Mata, Estago Monagas.
Bagaimana dengan Indonesia? Bagaimana dengan Pertamina?
Sejatinya langkah Indonesia memasuki era energi terbarukan sudah dicanangkan lebih mula dari Venezuela, yaitu melalui Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006 tentang bauran pemanfaatan energi nasional di tahun 2025. Barangkali karena informasi tentang energi terbarukan kalah riuh dibanding isu harga Bahan Bakar Minyak, dari kacamata saya sebagai orang awam program energi alternatif Indonesia terlihat masih jalan di tempat. Sementara Pertamina sendiri terbelenggu dengan isu-isu politis sektoral seperti perhitungan harga BBM yang sudah tidak bersubsidi, alih kelola blok migas, hingga “mafia minyak”.
Pengembangan energi alternatif terbarukan pun seolah menjadi prioritas ke-sekian yang terlupakan. Padahal negara seperti Venezuela saja, yang cadangan minyaknya diperkirakan baru habis setelah 234 tahun, berjibaku menyongsong tren energi terbarukan di era post petroleum.
“Masa Pertamina kalah sama tukang ojek? ” celetuk seorang kawan ber-retorika saat menyaksikan berita tentang tukang ojek yang mengolah singkong dari kebunnya untuk dijadikan bahan bakar motor ketika harga BBM melonjak.
Nyatanya melakukan pengembangan energi dari sumber terbarukan tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Hal itu bisa dilihat dari pemanfaatan Gas Alam, Minyak Bumi dan Batu Bara, yang nota bene merupakan sumber energi tidak terbarukan, mengisi 83% target bauran energi Indonesia tahun 2025. Sementara bahan bakar nabati (termasuk diantaranya singkong, tebu, jagung dan sawit) hanya mendapat porsi 5%.
Ada beberapa alasan yang menjadi hambatan bahan nabati tidak mudah dimanfaatkan menjadi bahan pengganti minyak bumi. Pertama, konversi per satuan dari bahan nabati ke bahan bakar sangat rendah. Singkong misalnya, salah satu bahan dengan konversi menjadi bahan bakar tertinggi, untuk menghasilkan 1 liter Ethanol membutuhkan sekitar 4 Kg bahan mentah. Padahal untuk masa tanam sekitar 10 bulan singkong hanya menghasilkan sekitar 30 ton per hektar, atau dengan kata lain satu hektar lahan hanya bisa memproduksi sekitar 7.500 liter Ethanol setiap 10 bulan. Sementara kelapa sawit, yang dinilai sebagai tumbuhan paling produktif penghasil bahan pengganti minyak diesel, membutuhkan sekitar 5 kg bahan untuk diperas menghasilkan 1 liter minyak, dengan produktifitas panen rata-rata hanya 2 ton per hektar setiap bulannya.
Akibatnya, timbul permasalahan kedua. Luas lahan yang dibutuhkan untuk memproduksi bahan bakar dalam jumlah besar menjadi tidak rasional. Bayangkan, guna memenuhi kebutuhan BBM Indonesia, yang rata-rata mengkonsumsi BBM sebesar 3 juta barrels atau sekitar 477 kilo liter per hari, dibutuhkan lahan seluas tidak kurang dari 19 juta hektar hanya untuk ditanami singkong. Angka untuk minyak sawit lebih spektakuler, dan itu dilakukan dengan membuka hutan hujan tropis.
Ketiga, tumbuhan penghasil bahan bakar pengganti umumnya adalah tanaman pangan. Permasalahan pangan juga menjadi persoalan di dunia seiring pertumbuhan populasi penduduk, tentunya absurd solusi untuk energi justru menimbulkan persoalan “energi versus pangan” yang lebih pelik. Di sisi lain, isu kerusakan ekosistem hutan hujan tropis juga membayangi pemanfaatan minyak sawit sebagai energi alternatif.
Tetapi harapan untuk mengganti bahan bakar dari minyak bumi dengan bahan nabati belum sepenuhnya hilang. Ada asa menjanjikan dalam bioenergi mikroalga. Tidak tanggung-tanggung, pengusaha sekelas Bill Gates menggelontorkan dana lebih dari 100 Juta Dollar untuk penelitian bahan bakar alga melalui perusahaan Sapphire Energy. Tidak membiarkan Bill Gates sendirian menikmati kue raksasa energi terbarukan masa depan, melalui grup Virgin Airlines Richard Branson melakukan percobaan terbang menggunakan bahan bakar jet dari Alga.
Alasannya adalah, dibandingkan dengan bahan nabati lain, mikroalga memiliki keunggulan yang jauh melampaui penghasil bahan bakar nabati potensial seperti singkong, kelapa sawit, jarak dan tebu. Penelitian Mujizat Kawaroe (2008), ahli mikroalga dari Institut Pertanian Bogor, menunjukan satu hektar lahan kultur mikroalga mampu dikonversi menjadi 2 barrel bahan bakar per hari. Jadi, untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar Indonesia saat ini hanya dibutuhkan lahan seluas 1,5 juta hektar.