Lihat ke Halaman Asli

Dealicious

Mahasiswa

Ibuku dan Setumpuk Puisi Miliknya

Diperbarui: 2 April 2024   19:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://www.pexels.com/id-id/foto/ditulis-tangan-buku-catatan-penulisan-cahaya-lilin-6037572/

Seorang gadis manis berumur sekitar dua puluh tahun, berjongkok didepan rumahnya sembari memperhatikan rintik-rintik air hujan yang turun dari celah atas genting. Dia tidak peduli bahwa hal itu membuat setengah tubuhnya basah, padahal dia sampai meringkuk kedinginan. Dan benar saja bahwa dia penyuka hujan. Pluviophile!

“Masuk, nanti sakit loh nduk” suara lirih dari dalam rumah itu tak lain adalah Ibunya. Enji pun masuk kedalam rumah, dia melihat Ibunya sedang meletakkan ember berukuran besar untuk menampung air yang bocor dari atap rumahnya. Dia juga melihat sang Ayah sedang merakit kipas anginnya yang sudah rusak. “Mungkin jika aku kaya atap rumahku tidak akan bocor dan ayah akan membeli kipas angin yang baru tanpa merakit yang sudah rusak, hidup miskin adalah luka terperih.“

  Esok harinya pukul sepuluh malam, Ayahnya melihat Enji sedang duduk di kursi plastik yang ada didepan rumah. Dia melihat anaknya yang manis ini sedang menatap bulan, dia merasa bahwa akhir-akhir ini Enji selalu tidur larut malam. Dia menghampirinya dan duduk disamping Enji, namun Enji tetap tak memalingkan pandangannya pada bulan di atas langit sana. “Ayah, jadi dewasa ternyata benar-benar pertaruhan” kata Enji tiba-tiba membuka suara. Ayahnya bingung, kenapa anak ini tiba-tiba berkata seperti itu. Enji melanjutkan pembicaraannya, “Aku tidak akan lagi memikirkan bagaimana cara menang bermain monopoli, aku tidak akan lagi memikirkan bagaimana aku akan mendapatkan biji paling banyak saat bermain congklak, atau mungkin aku tidak akan lagi memikirkan permainan apa yang harus kita mainkan besok bersama teman-teman? Menginjak dewasa tentang bagaimana tidak lagi menyusahkan orang tua, bagaimana menjadi manusia yang semakin tahu batasannya, dan bagaimana peran diri sendiri untuk hal-hal kedepannya”. Kali ini Enji memandang Ayahnya dengan senyum manis menciptakan lesung pipi. “Enji yang kemarin masih suka main hujan-hujanan, sekarang sudah bisa berkata-kata seperti ini. Kamu sudah semakin dewasa, Enji” ujar Ayahnya mengelus lembut rambut Enji. “Nyatanya memang begitu” jawab Enji. “Enji, apa yang kamu pikirkan akhir-akhir ini? Ayah perhatikan, Enji sekarang sering tidur larut malam. Kamu baik-baik saja?“

“Enji tidak apa-apa, hanya ada yang harus dikerjakan setiap malam. Enji sedang menulis buku. Enji suka sekali dengan puisi-puisi Meilia Sina” jelasnya.

“Oh iya? Sejak kapan kamu menulis?” seperti berbinar-binar, ayahnya memasang ekspresi terkejut. “Sejak dulu, hanya saja dulu tidak pernah kepikiran untuk mempublikasi tulisan Enji” ayahnya semakin menatap serius pada Enji, dia mengangguk-angguk. 

“Menurutmu itu keturunan atau memang bakatmu?“ tanya ayah Enji lagi.

“Hm?“ Enji dengan ekspresi bingung dan menyipitkan mata

“Sudah-sudah, lekas tidur” ayahnya pergi masuk ke dalam rumah, sedangkan Enji masih dengan tatapannya pada bulan. “Apa maksudnya?“ Gumamnya dalam hati.

 Suatu pagi di hari Minggu, ibunya di larikan ke rumah sakit, karena diabetes nya kambuh. Lagi-lagi gadis itu ingin mengumpat sekeras mungkin. “Biaya dari mana lagi ya Tuhan..“. Alhasil Enji nekat menggadaikan cincin dan anting-anting yg dipakainya.

Entah rasanya harus menangis atau bagaimana, yang pasti bibir Enji terasa sangat kelu, hatinya merasa teriris, dan pikirannya tidak fokus. Enji bergegas pulang ke rumah mengambil surat-surat yang dibutuhkan untuk administrasi ibunya. Sesampai dirumah, sebuah gulungan surat kecil dengan pita coklat berada didepan pintu. Disana tertulis beberapa kata dengan tinta biru.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline