Lihat ke Halaman Asli

Dea Aprillia Purwanto

Mahasiswa Universitas Airlangga

Toxic Positivity Culture di kampus: Mental Aman?

Diperbarui: 8 Juni 2022   16:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap orang pasti memiliki tujuan dan mimpi masing -- masing. Baik itu untuk dalam jangka pendek maupun panjang. Dalam prosesnya seseorang tidak akan langsung berhasil, tentu ada tantangannya. Sehingga seseorang haruslah optimis dan berpikiran positif ketika ingin mencapai tujuan dan mimpi itu. Kenapa? Karena mindset seseorang secara tidak langsung akan mempengaruhi realita yang terjadi. 

Hal itu memiliki dampak yang baik untuk orang tersebut. Pola pikir positif itu dapat disebut juga positivity. Mindset yang positif, realita yang timbul juga akan positif. Dengan positivity, beban maupun tantangan yang dihadapi akan terasa sedikit ringan.

Seperti quotes dari penulis Rintik Sedu.

Banyak yang harus di -- 'gapapa' -- in

dalam menghadapi masalah apapun. Tentu, positivity itu suatu relaksasi untuk pikiran dan emosi seseorang.

Pasalnya, jika berlebihan akan menyebabkan Toxic. Pasti readers sudah tidak asing lagi dengan kata 'Toxic'. Ya, toxic dapat dikatakan suatu hal yang berlebihan dan memberi pengaruh buruk kepada lingkungan sekitar. Sehingga pemikiran positif yang berlebihan bisa disebut Toxic Positivity. Toxic positivity adalah sebagai tindakan menolak atau menyangkal stres, negativitas, atau pengalaman negatif lainnya yang ada (Sokal, Trudel, & Babb, 2020). 

Contoh sederhana perbedaan positivity dan toxic positivity di lingkungan kampus yaitu ketika Anda mengalami bad day karena hasil tugas tidak sesuai ekspetasi lalu seorang teman datang menghampirimu "Hey gapapa, its okay to not be okay. Aku disini bisa untuk tempatmu berkeluh kesah dan bersyukur memiliki Anda sebagai teman di dalam hidupku". 

Ucapan tersebut setidaknya membuatmu lega dan bersyukur Berbeda dengan tanggapan teman yang toxic positivity ketika Anda mengalami bad day, mereka akan bilang "Tetapi Anda memiliki begitu banyak hal untuk disyukuri." Umumnya toxic positivity itu perilaku seseorang yang menggunakan hal positif untuk menutupi kebenarannya ataupun pengalaman yang buruknya. Untuk mengekpresikan empati terhadap orang lain dengan menawarkan saran untuk berpikir lebih positif itu baik. Namun cara dan penyampaiannya harus tepat.

Ketika kalian sudah menjadi toxic positivity, Anda akan merasakan marah hingga terganggu dengan pikiran yang memaksamu untuk positif. Perilaku itu biasanya dimiliki oleh generasi muda. Terlebih generasi muda di lingkungan kampus yang vibes-nya sangat kompetitif dan positif. Hal tersebut dapat menciptakan suatu Toxic Positivity Culture

Ketika berada pada lingkup organisasi di kampus, readers tentu sering dengar saat seseorang menyampaikan statement "Positive vibes only" atau "jangan negative thinking dong! be positive, please!". Statement seperti itu yang menimbulkan budaya positif yang berlebihan atau toxic positivity culture. Padahal, mengekpresikan emosi negatif sesekali dibutuhkan daripada memendam and cover it up yang dapat berpengaruh kepada kesehatan mental. Emosi negatif yang tidak dapat terluapkan dengan baik dapat menyebabkan kelelahan mental hingga kelelahan fisik.

Untuk menghindari itu, gunakan beberapa ide dibawah ini agar kesehatan mental Anda lebih aman terjaga dan tidak terjerumus pada Toxic positivity culture.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline