Lihat ke Halaman Asli

Dea Putri Yustira

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Gimmick Politik dalam Pilpres 2024: Seni atau Manipulasi?

Diperbarui: 15 Desember 2023   01:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pemilihan Presiden Indonesia tahun 2024 membuka peluang bagi berbagai strategi pemilu yang mengejutkan. Di tengah gemerlapnya pertarungan politik, muncul pertanyaan "Apakah yang terjadi adalah seni politik yang brilian atau sekadar manipulasi kekuasaan?"

Politik selalu menjadi bidang yang kompleks dan memiliki banyak aspek, dan para pemimpin menggunakan berbagai taktik untuk mendapatkan dukungan dan mempertahankan kekuasaan. Hal ini dapat dilihat sebagai taktik atau alat manipulasi, seperti penipuan. Hal ini dapat dilihat sebagai taktik atau alat manipulasi, seperti penipuan. 

Gimmick dalam politik seringkali digunakan untuk menarik perhatian, menciptakan citra, dan mempengaruhi opini publik. Politisi mengakui pentingnya persepsi dalam membentuk karir politik mereka. Pendekatan mereka adalah memanipulasi persepsi publik melalui penipuan, sering kali mengutamakan gaya dibandingkan substansi. 

Politisi menggunakan berbagai trik dan slogan, termasuk kostum yang mencolok dan penampilan yang ceria, untuk menarik perhatian pemilih dan mempengaruhi pikiran mereka. Manipulasi persepsi dapat dipandang sebagai sebuah bentuk seni yang dilakukan para politisi, yang menggunakan kreativitas mereka untuk menciptakan narasi yang sesuai dengan audiens mereka.

Politisi harus menyadari potensi bahaya dan implikasi etis dari penggunaan gimmick dalam kampanye mereka. Manipulasi fakta dapat menyebabkan distorsi dan kurangnya transparansi. 

Manipulasi ini begitu dahsyatnya sehingga dapat merusak proses demokrasi, karena  pemilih tidak terpengaruh oleh taktik yang dangkal dan tidak memilih berdasarkan partai mana yang ingin mereka wakili. 

Selain itu, penggunaan gimmick juga dapat melanggengkan budaya dangkal dan politik selebriti, yang menganggap citra dan hiburan lebih penting daripada konten dan keterampilan. 

Dengan maraknya media sosial dan siklus berita 24 jam, gimmick menjadi semakin umum akhir-akhir ini. Saat ini politisi memiliki platform permanen untuk memamerkan tipu muslihatnya dan menarik perhatian publik. 

Perubahan politik telah menciptakan medan perang baru di mana para politisi dapat bermanuver. Media sosial memungkinkan  politisi membentuk citra dan narasi mereka dengan cara yang sangat terkendali, hanya menampilkan aspek-aspek yang mereka anggap positif.Penggunaan penipuan dalam politik menimbulkan pertanyaan mengenai kejujuran dan kredibilitas para pemimpin politik

Apakah mereka benar-benar berkomitmen demi kebaikan rakyat, ataukah mereka sekadar menggunakan lelucon sebagai sarana untuk mendapatkan kekuasaan dan mempertahankan kendali?

Penipuan politik sebagian besar disebarkan dan diperkuat oleh media. Para pengunjuk rasa menyadari bahwa penipuan dan sensasionalisme adalah hal yang lumrah untuk mendapatkan liputan media. Namun, ketergantungan pada tipu muslihat seperti ini dapat menyebabkan liputan politik menjadi dangkal dan mengalihkan perhatian dari isu-isu penting. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline