Lihat ke Halaman Asli

Seni Mendisiplinkan Anak

Diperbarui: 13 April 2016   11:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Disiplin adalah salah satu karakter utama, yang harus diinternalisasikan pada anak sejak dini. Sayangnya, sebagian besar orang tua di negeri ini sering salah persesi mengenai disiplin. Mereka menyamakan disiplin itu dengan hukuman, dan aank yang melanggar harus dihukum secara fisik.

Akibat persepsi keliru para orang tua dan guru tentang disiplin, banyak anak yang menerima tindak kekerasan. Anehnya, hal itu dianggap sebagai sebuah kewajaran. Buktinya, kita seringmendengar di berbagai media massa yang memberitakan masih banyak anak yang mengalami tindak kekerasan dari orang tua atau guru dengan alasan untuk mendisiplinkan anak.


 Sebagian besar orang tua menggunakan pedekatan disiplin dengan teriakan dan memukul pada anak usia 2 sampai 3 tahun. Sedangkan untuk usia 4 tahun ke atas orang tua sering menggunakan pendekatan time out (pengistirahatan) serta penghilangan hak.


 Apa yang menyebabkan orang tua terbiasa menggunakan tindakan kekerasan untuk mendisiplinkan anaknya? Menurut Allen (2005), orang tua dalam memilih pendekatan disiplin melihat pada masa kecilnya ; jika pada masa kecilnya orang tua menggunakan pendekatan memukul maka pendekatan tersebut akan diberlakukan pada anaknya. Jadi pendekatan yang dipilih itu dilakukan secara turun temurun.


 Adapun pendekatan time out (pengistirahatan) dalam mendisiplinkan anak, sejatinya sangat ditentang oleh National Association for the Education of Young Children (NAEYC). Itu karena pengistirahatan biasanya berupa tindakan menjauhkan anak untuk duduk atau berdiri sendiri dan memikirkan apa yang sudah diperbuat. Namun terlepas dari fakta, orang tua atau guru tidak bisa mengendalikan apa yang dipikirkan anak, mungkin anak memikirkan betapa marahnya ia pada orang tua atau guru yang menghukumnya; dari pada tentang apa yang ia perbuat pada situasi tersebut.


 Hukuman menurut Papalia (2003), kadang memang diperlukan untuk memperbaiki perilaku anak, meluruskan dari kesalahan, dan membentuk budi pekerti yang luhur. Namun dalam kenyataannya, orang tua atau guru dalam melakasanakan hukuman dengan metode dan cara yang kurang tepat; sehingga yang terjadi anak bukan menjadi lebih baik tetapi justru menjadi lebih buruk. Seperti anak menjadi lebih agresif, anak mengalami penderitaan fisik maupun psikologis berkepanjangan. Dengan demikian, untuk mendisiplinkan anak, orang tua atau guru sebisa mungkin menghindari menggunakan cara hukuman.


 Sebagian orang tua dan guru juga masih menggunakan metode hukuman dan hadiah dalam mendisiplinkan anak. Padahal sejatinya, prilaku itu kurang baik bagi tumbuh kembang anak. Sudah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa kedua metode itu tidak efektif dan bahkan dapat merugiikan anak terutama dalam jangka waktu lama (Allen, 2005).
 Hukuman memang bisa menghentikan tingkah laku sesaat, sementara hadiah bisa mendorong agar bertingkah laku yang baik juga dalam jangka waktu sesaat. Namun, dalam jangka panjang hukuman kadang bisa membawa dampak traumatic psikis maupun fisik pada anak., sedangkan hadiah atau pujian kkadang bisa mengecilkan hati anak, mengurangi motivasi untuk belajar dan kerja sama (Marfiah Dwi Wulandari, 2004).


 Pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimana sebaiknya cara mendisiplinkan anak yang baik dan manusiawi? Menurut hemat penulis, ada beberapa seni mendisiplinkan anak, di antaranya:


1. Berikan aturan pada anak, tetapi imbangi dengan curahan kasih sayang yang lebih besar lagi. Kasih sayang menjadi penting bagi imbal balik dari aturan yang sudah diterapkan oleh orang tua. Adanya kasih sayang dan perhatian yang besar, akan membuat anak merasa bahwa dirinya tidak sendiri, diperhatikan oleh orang-orang yang menyayangi, dan baginya mematuhi perintah orang yang menyayangi adalah sebuah kewajaran. Dalam mengasuh anak, orang tua hendaknya juga menyesuaikan perilaku mereka terhadap anak. Misalnya, orang tua tidak boleh memperlakukan anak berusia lima tahun dengan anak yang berusia dua tahun dengan cara yang sama. Mereka memiliki kebutuhan-kebutuhan dan kemapuan yang berbeda.


2. Disiplin sebagi bagian dari pengajaran dan pembelajaran. Dalam hal ini, orang tua menggunakan kebijaksanaan untuk mengajarkan nilai-nilai yang memperlihatkan beapa seorang anak dapat menentukan pilihannya sendiri dengan baik. Dalam pembelajaran terdapat suatu proses yang berjalan seiring waktu dan memerlukan pengulangan serta pematangan kesadaran. Sedangkan disiplin sebagai pengajaran, memungkinkan orang dewasa untuk memandang sifat anak yang kurang menyenangkan sebagai kesempatan untuk mengadakan perubahan. Dengan begitu, orang dewasa bisa mengembangkan sikap positif terhadap anak, menghilangkan kata-kata hinaan terhadap perilaku yang kurang menyenangkan, serta mendorong anak untuk bekerja sama memilih perilaku yang tepat.


3. Tanamkan persepsi bahwa disiplin itu sebagai sesuatu yang penting. Orang tua / guru harus meyakinkan anak bahwa disiplinitu merupakan bagian penting pembentuk karakter. Disiplin dapat memberi anak rasa aman, dengan memberitahukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Disiplin membantu anak menghindari perasaan bersalah dan rasa malu akibat perilaku yang salah. Disiplin juga memperbesar penyesuaian pribadi dan sosial anak. Dengan demikian, disiplin sangat diperlukan anak karena anak akan mengerti konsep mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan, anak memiliki penyesuaian pribadi dan sosial yang baik serta pengendalian diri yang baik. Dengan memiliki disiplin diri yang baik anak akan memperoleh kebahagiaan dan rasa aman di lingkungan kelompoknya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline