Lihat ke Halaman Asli

djarot tri wardhono

Menulis apa saja, berbagi dan ikut perbaiki negeri

Gementing Asa di Dua Puluh Menit

Diperbarui: 27 Juli 2021   14:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ini sudah ketiga kali, masakan yang kudagangkan dihangatkan kembali. Hari ini, seakan tambah sepi pembeli yang memesan makanan untuk bisa dibawa pulang. Bangku dan meja makan ditumpuk dan dijadikan satu di ujung warung. Mereka ikut teronggok berdebu dan seakan ikut merasakan sepinya pembeli. Aku lebih banyak bengong menanti pembeli. Dan pagi ini, aku bangun lebih siang, hanya satu-dua menu yang kubuat baru, selain itu semua hanya makanan yang dipanaskan kembali.

***
Seperti biasa, jam dua pagi, aku memulai rutinitas. Bergegas berangkat ke pasar. Pagi itu pasar sudah hiruk pikuk. Banyak lalu lalang orang ditengah temeram beberapa lampu neon. Tak seterang lampu jalan protokol, tapi sinarnya telah cukup menerangiku memilih bahan-bahan baku belanjaanku.

Mulai sayur, bayam -- kangkong -- toge -- sawi -- kacang panjang -- buncis, mulai mengisi kantung belanja yang kubawa. Tempe -- tahu -- oncom -- jamur -- telur  -- kerang merah -- usus ayam -- ayam broiler, khas  bahan baku masakan warungku yang sederhana. Tak ada, bahan makanan mahal yang selalu kubeli, semua untuk menu yang terjangkau. Semua belanjaan terkumpul dan siap dikumpulkan dalam satu karung untuk memudahkanku membawa pulang.

Motor butut, keluaran tahun 90-an, setia menemaniku menjelajah setiap pagi. Di kanan dan kiri terpasang tas angkut yang cukup besar. Isinya semua belanjaan yang terbagi rata untuk keseimbangan. Belum lagi di sisi kiri stang, tergantung beberapa kantung krupuk sebagai menu tambahan. Laju si bebek, tak bisa digeber cepat. Tapi itu sudah cukup bagiku untuk melibas jalanan. Kumandang adzan subuh hampir diserukan,  saat aku memarkir si roda dua di depan warungku. Seperti biasa, sebelum subuh aku sudah sampai, dan kujeda untuk bermunajat kepada Nya di pagi itu. Selanjutnya aku kan memulai berperang di dapur.

Aku dibantu dengan tetangga dari kampung. Pekerjaan, mulai dengan membuka karung dan memilahnya untuk hasilkan menu pertama. Dentang dan denting, bunyi yang dihasilkan dari sentuhan antara panci -- wajan dengan sothil. Bunyinya jadi melodi merdu bagiku, lagu pagi yang selalu mengiringiku bekerja Bersama mbak Umi, tetangga kampung yang ikut bersamaku, aku menikmati musik pagi. Rajangan sayur dan potongan tahu tempe, mulai masuk di penggorengan, seakan menari dengan lembut dan gemulai. Mereka beradu, bertemu, bercampur, bergumul untuk hasilkan menu siap saji.

Satu per satu menu selesai diiringi gementang dua logam bertemu. Beriring-iring menu itu keluar dari bajan dan disajikan dalam nampan plastik. Nampan-nampan beraneka warna itu mulai berjajar  di kotak kaca berpintukan tirai tembus pandang. Hijau, merah, biru, putih, nampan memberi warna kotak kaca selain warna-warna sajian di atasnya.

Ritual itu berulang dari hari ke hari. Rutinitas dalam urutan tanggal dari satu hingga tiga puluh satu, mulai senin hingga senin kembali. Semua dimulai pukul enam pagi dengan bukanya warung, mulai beberapa menu. Dan  pukul sembilan dengan semua menu tersaji komplit  tiap hari.  Dan pada pukul empat sore, aku pun mulai menutup kedaiku.

Begitulah keseharianku setiap hari. Pembeli akan silih berganti makan sarapan dan makan siang di warungku. Tak banyak mereka, membawa makananku dalam bungkusan. 

***

Hari ini, sudah lebih tiga pekan, rutinitasku tak berjalan normal. Boleh dihitung dengan jari, motor bebekku berlari. Si butut, lebih banyak diam dan tak menyalak dalam beberapa hari. Derunya tak terdengar setiap hari. Suara seraknya lebih banyak tersimpan.
Melodi gementang alat dapur pun ikut memilih menahan diri. Suaranya tak dinyanyikan tiap pagi. Mungkin hanya tiga-empat hari sekali mereka mendendang  tak berorkestra, hanya satu dua bunyi yang gemerenting. Aku lebih banyak menghangatkan menu kemarin atau masakan kemarin lusa.

Bangku dan meja, yang banyak ditempati dan diduduki pagi hingga siang, hanya memojok di ujung kedai. Menumpuk, bertumpuk dan dihinggapi debu jalanan. Deretan nampan penuh warna tak dihiasi warna menu segar. Menu itu menggelap dan tak menarik minat, semua karena penghangatan makanan yang berkali.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline