Lihat ke Halaman Asli

Persahabatan dari Tangan Ibu

Diperbarui: 3 Januari 2018   23:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dari sekian banyak hal yang telah ibuku berikan padaku, ada satu hadiah sederhana darinya yang paling berharga: hal itu adalah persahabatan.

Desember lalu, umurku beranjak 22 tahun, sedang ibuku 58 tahun. Dilihat dari hitungan matematis, umur kami terpaut 36 tahun. Tapi, jarak yang ditimbulkan angka itu tidak berarti apapun bagiku karena pada kenyataannya, tidak lagi ada jarak di antara kami.

(Oh, dan tentu saja persahabatan di antara kami tidak terjadi begitu saja)

Seperti pada awal mula setiap relasi---yang terbentuk berdasarkan darah sekali pun, aku menyadari bahwa semua orang awalnya adalah orang asing bagi diri kita. Begitu pula dengan ibuku. Saat kanak-kanak dulu, aku tidak mengenal beliau dengan baik. Ingatan terdini yang bisa kugali mengenai seseorang yang berstatus sebagai ibuku adalah wanita galak yang kerap menyuruhku melakukan sesuatu dengan cepat, dengan sempurna. Saat aku masih kecil, ibuku terasa asing. Aku tidak tahu apa warna kesukaannya atau artis kesukaannya. Aku tidak tahu apapun mengenai beliau.

Beranjak remaja, hubungan kami semakin tidak baik. Terdorong oleh ego anak remaja, aku selalu ingin melawan setiap perkataan ibuku. Pemberontakan kecil dariku itu makin membuat beliau semakin giat mengaturku, menyuruhku dan menasihatiku. Tapi dasar anak remaja (Ralat, seharusnya: dasar aku sih! (Tidak semua anak remaja melawan sepertiku, bukan?)), aku malah semakin menjauhinya hingga tanpa sadar, aku telah membuat jarak dengannya. Pada titik ini, aku pun masih tidak mengenal seperti apa sosok ibuku yang sebenarnya. Interaksi kami tidak pernah berbentuk positif, dan alih-alih ingin mencoba mengerti maksud ibuku, aku hanya mementingkan diriku sendiri.

Tapi, ada yang berubah.

Ketika aku beranjak ke kelas tiga SMA, orang yang paling dekat denganku di keluarga kecil kami, Bapak, meninggal. Keluarga kecil kami yang asalnya berbentuk persegi---bapak, ibu, kakak, dan aku, kini hanya berbentuk segitiga dengan ibu mengambil sisi puncak dan mengemban tanggung jawab bagi kami, anak-anaknya,.

Kami hanya tinggal bertiga, aku tidak punya siapapun selain mereka.

Maka, didorong dengan keinginan untuk saling menguatkan di masa-masa sulit, kurasa saat itulah barangkali mataku mulai terbuka untuk mencoba mengenal ibuku.

Sebelumnya, kami tidak pernah terlibat dalam obrolan yang menyenangkan. Tapi, semenjak saat itu aku selalu berusaha untuk membuat lelucon yang meringankan suasana dan kulihat ibuku pun berusaha untuk menanggapinya sebaik mungkin---terlepas leluconku itu garingatau tidak. Sebelum berangkat, biasanya aku hanya mencium tangannya, tapi kini beliau memberikanku sebuah pelukan---yang pada awalnya terasa sangat kikuk, tapi lama kelamaan menjadi terasa alami. Aku meminta maaf karena sikapku yang tidak adil padanya, dan beliau pun memaafkanku juga berjanji akan memperlakukanku lebih baik.

Pelan-pelan, kami mulai mengganti waktu yang telah lampau dengan interaksi positif. Dan di sinilah kami sekarang, menjadi dua perempuan yang berbagi ikatan persahabatan yang erat, saling menguatkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline