Lihat ke Halaman Asli

Vacuum Cleaner

Diperbarui: 17 Juni 2015   19:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Kenapa ayah tak juga pulang, bu?” Tanyaku pada suatu sore yang muram, ketika wanita paruh baya berwajah sendu itu sedang sibuk membersihkan ruang tamu dengan sebuah vacuum cleaner.

“Jangan menunggunya lagi.” Jawabnya tanpa menatapku.

“Kenapa?” Aku mendesak sambil terus menatapnya membersihkan debu-debu yang menempel di karpet besar itu.

“Kau masih terlalu kecil untuk mengerti.” Ucapnya datar. Masih juga tanpa menatapku.

Mungkin dia benar. Aku masih terlalu kecil untuk mengerti segalanya. Aku belum genap berumur tujuh tahun kala itu. Kala aku menanyakan tentang ayah yang tak kunjung pulang.

Dan mungkin juga aku memang terlalu kecil kala itu, untuk menanyakan kenapa aku dilahirkan dari kedua orangtua yang tak juga bisa mengeja kata cinta dengan benar.

Seingatku, belum pernah sekalipun aku mendengar ayah dan ibuku saling mengucapkan kata cinta. Sama sekali. Entah, mungkin lidah mereka tak tercipta untuk mengucapkannya. Atau bisa saja dengan mengucap kata cinta, itu bisa membuat mereka terbunuh. Aku hanya bisa menduga-duga, tak lebih. Karena, bagi mereka, aku masih terlalu kecil untuk diberi kesempatan bertanya.

Bahkan, makan malam kami selalu mendingin lebih cepat karena kebisuan yang membekukan apapun yang ada di atas meja makan. Bahkan, menu sarapan kami selalu terasa hambar karena semua rasa telah direnggut entah oleh siapa.

Dan begitulah hari-hariku. Hari-hari kami. Aku melewatinya tanpa bertanya. Tanpa ada kata kenapa. Aku hanya menjadi penonton yang sama sekali tak menyukai opera penuh kebencian yang dimainkan oleh ayah dan ibuku.

Aku tak menyukai satu adegan ketika ibuku menangis sambil mencuci piring di wastafel dapur. Aku juga tak menyukai adegan lain ketika ayahku melemparkan apapun yang bisa dilemparnya ke arah tembok. Telingaku menjadi perih, setiap kali suara pecahan gelas dan bantingan kursi terekam olehnya. Mataku menjadi merah berair, sewaktu ibuku terkapar tersapu ayunan tangan kekar milik ayahku.

Dan aku bingung mendapati diriku yang seperti itu. Adakah yang salah dengan indera pendengaran dan penglihatanku? Apakah aku menderita alergi terhadap suara benturan atau adegan penamparan? Ah, aku masih terlalu kecil kala itu untuk menemukan jawabannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline