Lihat ke Halaman Asli

Ber [Iman] kepada Jilbab

Diperbarui: 18 Desember 2015   14:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Latar Pemikiran

Don’t judge a book by its cover. Adagium tersebut barangkli sudah sekian kali mampir di telinga kita, dan sebanyak itu pula kita mengabaikannya. Apa yang tertulis tak bukan adalah suatu peringatan bahwa kita jangan menilai sesuatu hanya dari tampilan luarnya saja, namun selamilah kedalaman maknanya. Begitupun ketika kita melihat seorang perempuan maka dengan cepat kita langsung menyimpulkan kepribadian orang tersebut tanpa bersusah payah menyelami kediriannya.

Salah satu cara berpakaian yang bertalian dengan spirit agama dan sering menjadi pusat perhatian adalah jilbab. Jilbab adalah pakaian yang wajib hukumnya secara syariat dikenakan oleh muslimah. Agamalah yang mewajibkan mereka harus mengenakan jilbab,[2] jika ada seseorang yang tidak mau mengenakan hijab maka dianggapnya menyimpang. Dalam persoalan tersebut, apakah beriman (menjadi sholehah) hanya terkategorisasi melalui cara seseorang perempuan berpakaian. Karena ada yang menyatakan bahwa berhijab atau jilbab itu wajib hukumnya bagi kau muslimah. Sebab berangkat dari titik ini terjadi bias antara yang iman dengan yang tidak di dasarkan pada aspek lahiriyah (fashion).

Cara seseorang memakai suatu atribut pakaian, maka ia akan dikaitkan dengan identitas tertentu. Peristiwa seseorang memakai atribut merupakan satu proses yang membentuk sebagai seseorang melalui atribut tersebut. Anti esensialis menyatakan bahwa identitas bukanlah sesuatu yang punya keberadaan atau eksis; identitas tidak mempunyai kualitas esensial atau universal. Identitas lebih merupakan kontruksi diskursif, produk wacana-wacana, atau cara-cara tertentu dalam berbicara (regulated ways of speaking) tentang dunia.[3] maka, identitas diciptakan dan bukan ditemukan, dan terkonstruk dari representasi-representasi, terutama bahasa atau dalam bahasa Peter L. Berger mengistilahkan dengan konstruksi sosial atas realitas.[4]

Melalui komoditas realitas dikonstruksi, kapitalisme dengan segala dayanya menciptakan imajinasi tentang yang-iman melalui produksi komoditas-komoditasnya, karena penciptaan adalah inti dari ideologi kapitalisme. Jadi masalah ke-imanan bagi seorang muslimah telah dikerangkakan dalam term busana muslimah melalui tagline sudahkah berhijab dengan benar?

 

Istilah Jilbab

Istilah hijab berasal dari kata ha-ja-ba, yang diterjemahkan  sebagai  “menyelubungi, memisahkan,  menabiri,  menyembunyikan,  menutupi.”  Hijab diartikan  sebagai  “penutup,  selubung,  tirai,  tabir,  pemisah”.[5]  Hanya  saja pergeseran  makna  hijab  dari  semula  berarti  tabir,  berubah  makna  menjadi pakaian  penutup  aurat  perempuan  semenjak  abad  ke-4  H,  dengan  berbagai istilah.  Istilah  jilbab,  dalam  arti  penutup  kepala  hanya  dikenal  di  Indonesia.

Dalam KBBI, Secara terminologi, jilbab dimaknai sebagai kerudung lebar yang digunakan perempuan muslimah untuk menutupi kepala dan leher hingga dada.[6] kerudung umumnya masih menampakan sebagian rambut dan leher perempuan yang memakainya, sedangkan jilbab menutup bagian kepala dan leher hingga tak terlihat lagi. Jika dilihat dari keberadaannya di Indonesia, jilbab semula lebih dikenal sebagai kerudung, tetapi di awal tahun 1980-an kemudian lebih populer dengan jilbab.[7]

El Guidi mengemukakan bahwa: “Ketika rujukannya pada pakaian perempuan, maka yang lebih tepat adalah kombinasi kesucian, pengendalian diri (dalam hal pakaian dan tingkah laku), dan privasi.”[8] Hak Konsep privasi yang dikemukakan oleh El Guidi berkaitan dengan hak istimewa pengeksklusifan bagi perempuan, yang kemudian direfleksikan melalui pakaian. Untuk menutupi bagian tubuh perempuan yang vital.

 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline