Lihat ke Halaman Asli

Dayu Rifanto

@dayrifanto | Membaca, menulis dan menggerakkan.

Mengenang Guruku Yance Rumbino

Diperbarui: 30 Juni 2024   13:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: rri.co.id

“Pendidik multitalenta sekaligus seniman. Saya menyukai matematika saat di sekolah dasar karena Pak Guru Yance Rumbino. Ia begitu kreatif membuat kami senang pada mata pelajaran itu”

Saat itu banyak teman suka pada caranya mengajarkan matematika, termasuk saya. Pelajaran sulit, terasa mudah di tangannya. Seperti mantra Albert Einstein saja kalau dipikir “Kalau kamu tidak bisa menjelaskannya secara sederhana, maka kamu belum cukup memahaminya.”

Ketika beliau mengajar matematika, ia merangkap sebagai kepala sekolah SD Inpres Kotabaru Nabire. Sekolah saya dekat saja dengan kompleks saya tinggal, itu membuat tiap hari saya mesti berjalan kaki dari rumah, 10–15 menit saja. Senang rasanya tiap pagi bisa jalan kaki.

Dulu saat berjalan kaki, ada saja teman yang belum menggunakan sepatu karena tidak punya, atau sol sepatu menganga lebar. Tanda sepatu rusak yang dipakai terus menerus karena tiada ganti. Termasuk baju seragam yang bisa jadi satu-satunya dipakai tiap minggu.

Jika yang saya alami itu puluhan tahun lalu, sayangnya (sedihnya), ketika turun lapangan pada tahun 2022 lalu ke salah satu SD di Manokwari Selatan, hal itu masih mudah saya jumpai pada anak sekolah.

Ingatan mencair. Kenangan pada guruku hadir sebab seorang teman dari masa sekolah dasar mengirimkan pesan kepergianmu, pagi tadi. Ingatan mengalir menyambung kembali kenangan lalu. Bayangan selokan tempat perahu-perahu kertas kami labuhkan, suasana kelas, teman-teman, penjaga sekolah, juga guru-guru dan dirimu pak guru.

Memori berdesak-desakan di rumah guru yang engkau tempati. Saat istirahat membeli mangga, atau juga nasi kuning di kios sederhana depan rumah guru. Kami biasa duduk berhimpitan makan nasi kuning, sekaligus menonton tayangan “Casper and friends” pada stasiun televisi TPI persis di ruang tamu rumahmu yang bersahaja.

Kami tahu engkau menulis lagu dan menyanyikannya. Lalu mengajari kami menyanyikannya bersamamu. Rasanya semua teman-teman sekolah pasti mengingatnya. Lagumu itu “Irian Jaya” (sebelum berubah menjadi Tanah Papua) menjadi lagu andalan sekolah. Kerap dinyanyikan saat ada peristiwa penting termasuk perpisahan kelas 6. Walau begitu, ingatan padamu terlebih pada kejadian konyol yang saya buat.

Waktu itu saya terpilih masuk tim sekolah untuk lomba cerdas cermat. Malang nian, tim kami tampil pada urutan terakhir. Lomba berlangsung di sekolah, di mana lapangan tengahnya berumput. Ada banyak anak yang menonton lomba itu. Tapi tak semuanya senang mengikutinya secara utuh. Ada saja yang iseng bermain di lapangan, tak menonton cerdas cermat. Mereka bosan menonton lomba, saya akhirnya pun ikut bosan.

Kaki terasa gatal mau ikut bergerak, melihat anak-anak bermain bola. Itu sebabnya begitu melihat anak-anak sebaya bermain di tengah lapangan, iman ini menjadi goyah. Kaki pun ikut bergoyang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline