Lihat ke Halaman Asli

D. Rifanto

TERVERIFIKASI

Membaca, menulis dan menggerakkan.

Affandi: Perkenalan buat Anak-anak

Diperbarui: 12 Oktober 2023   17:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: koleksi pribadi Dayu Rifanto

Seri Biografi Tokoh: Affandi
Penulis: Ajip Rosidi
Penerbit: Nuansa Cendekia
Tahun 2012, cetakan ke-3


"Ia bekerja sebagai tukang cat, tukang karcis bioskp, buruh kasar, atau apa saja, asal halal"

Brilian betul, pikir saya membaca kesepakatan antara Affandi dan istrinya, yang kerap dijadikan objek melukisnya itu. Istrinya manut, sepakat pada tawarannya yang ingin bekerja seminimal mungkin, selama pekerjaan itu dapat menutup ongkos dapur selama satu bulan. Dan selebihnya? Tentu saja melukis.

Buku yang dimaksudkan sebagai pengantar bagi anak-anak mengenal tokoh-tokoh Indonesia, ditulis dengan bahasa yang mudah dicerna, juga tipis saja sepanjang 64 halaman dengan ukuran A5. Penulisnya sendiri adalah sastrawan Ajip Rosidi.  Sejak sebelum sekolah, Affandi sudah suka menggambar wayang di atas tanah, kemudian setelah sekolah ia menggambar di atas batu tulis dan kertas dengan potlot. Berbeda dengan anak lainnya yang biasanya mengagumi tokoh gagah perkasa dalam perwayangan, dia menyukai tokoh berwajah buruk bernama Sukasrana. Kelak Affandi sering mengatakan bahwa ia menggemari tokoh itu karena wajahnya sama buruknya dengan wajah Affandi sendiri.

Kegemaran Affandi yang suka menggantug potret yang dibuatnya dalam kamar, menarik perhatian S. Sudjono, yang tercengang pada saat melihat potret lukisan yang dibuat Affandi. Sudjono melihat bakat besar dari pembuatnya. "Bukan karena lukisan itu lebih baik dari yang lain maka saya beli, tetapi saya melihat masa depan. Jangan berhenti melukis dan janganlah berputus asa" kata S Sumardja, yang baru saja pulang dari Eropa setelah bertahun-tahun belajar seni lukis di sana.

Pertanyaan guru gambar yang nantinya menjadi seorang professor Seni Rupa ITB ternyata berpengaruh besar pada diri Affandi. Jika sebelumnya dirundung ragu atas pilihan menjadi pelukis, kini ia pun yakin. Dirundingkanlah cita-citanya itu bersama isterinya. Ia punya program hidup minimum, yaitu kerja selama sepuluh hari untuk mencari nafkah keluara, dan setelah cukup, ia akan melukis saja sampai akhir bulan. Isterinya punya pengertian yang dalam, ia menerima rencana suaminya. Dan sejak itu mereka hidup dengan ketat. Kesenian saya, tidak berpangkal dari keindahan tetapi dari kemanusiaan. Meskipun berhasrat melukis, saya akan menundanya jika anak saya sakit."

Saya kagum betul, pada semangat dan kegigihan Affandi, juga kerjasama dan saling pengertian antara istri dan dirinya, yang dapat kita temui pada cerita-cerita dalam buku ini. Saya belajar dari kisah-kisah seperti ini, karena punya harapan dapat menulis biografi untuk anak, para tokoh menarik dari Papua. Melacak jejak Affandi melalui museumnya di pinggiran kali Gajah Wong, saya seolah haus ingin mengetahui sosok ini lebih lanjut, dan itu membawa saya pada buku lainnya, yang sayangnya belum kesampaian terbeli. Ada karya Nasjah Djamin yang rasanya akan segara saya cari dan beli. Affandi, dalam buku tipis ini begitu berkesan.

Sumber: Koleksi tiket museum Affandi (Dayu Rifanto)

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline