Lihat ke Halaman Asli

D. Rifanto

TERVERIFIKASI

Membaca, menulis dan menggerakkan.

Grace Burdam dan Kabar Baik Taman Baca

Diperbarui: 12 Oktober 2022   10:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar 1. Kesan anak-anak pada taman baca pinjampustaka di Kota Sorong. (Sumber foto pribadi)

Sebuah kiriman foto datang minggu lalu, Grace Burdam, seorang pustakawan yang ikut mengelola taman baca PinjamPustaka mengirimkan foto itu pada saya. Foto yang berisikan tulisan anak-anak yang kerap hadir dan menjadikan perpustakaan atau taman baca masyarakat yang kami kelola di Kota Sorong, sebagai tempat kunjungan yang tetap tiap minggunya.

"Saya suka perpustakaan ini, terima kasih"


Membaca pesan ini, dan melihat bahwa anak-anak di sekitar taman baca setiap akhir pekan selalu meluangkan waktu datang, bermain dan membaca membuat rasa optimis hadir. Simpulan awal bahwa ruang baca seperti ini bermanfaat hadirkan ruang aman dan nyaman bagi anak-anak. Dari perjumpaan sederhana ini, ada peluang menciptakan kesenangan pada buku dan bacaan.

Dalam tulisannya "Educational investment in conflict areas of Indonesia : The case of West Papua Province (2007)," Julius Ary Mollet menuliskan bahwa pemerintah daerah perlu menitikberatkan dan menyediakan fasilitas sekolah seperti perpustakaan sekolah. Sebab sekarang ini banyak sekolah dasar belum memiliki perpustakaan. Motivasi membaca siswa yang rendah salah satunya disebabkan oleh kurangnya perpustakaan sekolah. Apalagi, harga buku di Papua cukup tinggi. Itu menyebabkan siswa (terutama dari golongan ekonomi rendah) kesulitan membeli buku.

Gambar 2. Grace Burdam, salah seorang relawan pustakawan sedang membaca nyaring bagi pengunjung yang datang. (Sumber foto : pribadi)


Ini mengingatkan kita kembali bahwa dalam menumbuhkan kebiasaan membaca, perpustakaan memainkan peran sungguh krusial. Pada tahun 2016, gerakan literasi sekolah dihadirkan pemerintah dengan tujuan membiasakan dan memotivasi siswa untuk mau membaca dan menulis guna menumbuhkan budi pekerti. Dalam penerapannya, salah satunya dengan membiasakan membaca 15 menit sebelum kegiatan belajar mengajar. Hal ini mensyaratkan kesiapan perpustakaan dengan buku bacaan yang beragam dan berkualitas.

Menariknya, pada tahun 2020 lembaga penelitian Smeru menurukan laporannya bahwa darurat literasi di Indonesia disebabkan oleh kurangnya perpustakan dan buku bacaan berkualitas. Menggunakan data tahun 2020, perpustakaan yang ada di Indonesia saat ini baru mencapai 154.000 atau hanya memenuhi angka 20% dari kebutuhan nasionalnya. Jika dirinci, untuk perpustakaan umum (tersedia 26% dari kebutuhan 91.000) dan perpustakaan sekolah (tersedia 42% dari kebutuhan 287.000). Dan hal ini juga terjadi pada level kecamatan. Smeru menegaskan bahwa dari total 7.904 perpustakaan kecamatan di seluruh Indonesia, baru terpenuhi sekitar 6% atau 600 perpustakaan yang letaknya masih terpusat di Pulau Jawa.


Menurut laporan Indikator Pendidikan Provinsi Papua 2021, perpustakaan sekolah menjadi salah satu hal yang penting dalam membangun budaya literasi. Tetapi di Papua, meskipun pemerintah telah mewajibkan setiap sekolah membangun perpustakaan dan telah terjadi peningkatan jumlah perpustakaan, namun masih ada sekolah yang tidak memiliki atau belum dilengkapi dengan perpustakaan. Rasio terendah berada pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD), di mana hanya antara 36 dan 37 dari 100 sekolah yang memiliki fasilitas perpustakaan di sekolah.

Gambar 3. Jumlah ketersediaan perpustakaan sekolah di Provinsi Papua (Sumber : Indikator Pendidikan Prov. Papua 2021)


Begitu melihat dan membaca data-data ini, saya segera merasa betapa pentingnya keikutsertaan masyarakat dalam hal menghadirkan beragam taman-taman baca, sebagai sebuah urun kontribusi dari masyarakat ikut menghadirkan solusi bagi masalah literasi. Saya pun teringat di Kota Sorong, tempat saya tinggal selama 4 tahun ini, ada Rumah Kata, sebuah taman baca yang dikelola oleh Suhardi Aras, dan sudah sejak tahun 2015 membuka layanannya bagi masyarakat. Belum lagi, misalnya EGAD Kairos di kilo 8 (Ansri Nauw), TBM Mansapur di Rufei (Yuli Wambrauw), Kelas Viktori (Hilda), HanoWene Kilo 10 (Yohanes Kossay), Keik Tsinagi (Rith Osok), jika bisa menyebut beberapa inisiatif dari kawan-kawan di Sorong.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline