Lihat ke Halaman Asli

D. Rifanto

Membaca, menulis dan menggerakkan.

Benediktus Fatubun: Membaca Bukan Ajang Lomba Lari

Diperbarui: 17 Februari 2022   08:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto : Benediktus Fatubun

"Membangun perpustakaan adalah mencipta kehidupan. Perpustakaan tak pernah menjadi kumpulan acak buku-buku belaka."-Rumah Kertas.

"Perkenalan saya dengan buku dapat dikatakan cukup terlambat. Saya mulai membaca dengan serius, ketika masuk perguruan tinggi. Tepatnya pada tahun 2014. Lingkungan saya berkuliah serta organisasi yang saya geluti memaksa saya harus membaca." Begitu pengakuan Benediktus Fatubun, seorang guru SMA dan pengurus rumah baca di Boven Digul.


Keterlambatan ini  karena ia merasa dibesarkan di lingkungan dan orang-orang yang tidak mendukung pada kegiatan membaca. Maka aktivitas membaca menjadi sebuah kemewahan yang sulit didapatkan. Walau begitu, tak ada kata terlambat. Sebab ia menghadirkan kebiasaan membaca, secara serius bagi dirinya semenjak 2014 lalu.

Ada sebuah kekonyolan yang ia lakukan, waktu kuliah dulu. Akibat membaca buah karya Carlos Maria Domingues yang berjudul "Rumah Kertas," ia pun meniru sikap Carlos Brauer, pecinta buku dan tokoh utama dalam buku tersebut, yang selalu mengatur buku-buku di rak bukunya, sesuai hubungan emosional para penulisnya. Apakah karena perpustakaan adalah semacam mencipta kehidupan, sehingga buku-buku disusun berdasarkan hubungan-hubungan tertentu?

"Saya menyusun buku sesuai hubungan emosional para penulis. Misalnya saya selalu mengatur karya-karya John Steinbeck dan Pramoedya secara berdampingan. Karya-karya Soekarno selalu saya pisahkan dengan karya-karya Tan Malaka karena dalam beberapa hal mereka sangat bertentangan." Karena aktivitas tersebut, ia sering dicap "orang gila" oleh kawan-kawannya.

Dari beberapa genre penulisan, ia menyukai buku  sastra, sejarah dan umum. Ia juga mengakui, bahwa yang masuk genre umum yang sedang ia senangi adalah buku-buku filsafat. Dirinya juga mempunyai semacam ritual membaca "setiap pagi, saya selalu menyempatkan waktu 15-30 menit untuk membaca sastra. Sedangkan untuk filsafat dan sejarah, saya selalu baca diwaktu malam hari. Buku sejarah adalah teman pengantar tidur," jelasnya.

Jika meminjam istilah Borges, bahwa perpustakaan adalah sebuah pintu memasuki waktu. Maka membaca adalah penjelajahan bersama waktu, menekuri teks demi teks membentuk  pemikiran. Beni sekarang ini sedang membaca beberapa buku; Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, Tanah Merah karya A. Hasjmy serta Teori Kritis Sekolah Frankfurt karya Sindhunata.

A.Hasjmy menulis sebuah buku yang sebahagian ia karang di Tanah Merah, sebagian di Merauke, sebagian lagi di Jayapura dan Banda Aceh. Pada buku yang berkisah tentang Boven Digul ini, pada salah satu halamannya dapat kita temui foto dokter gigi Ircham Mahfoedz, ia adalah penulis novel "Mumi Dinasti Kurulik."  Dan menulis pengalaman-pengalamannya bertugas sebagai tenaga kesehatan di Merauke pada tahun 1970an dalam buku "Sumpah dan Janji Petugas Kesehatan & Praktikumnya di Papua"

Ia juga mengidolakan I Ngurah Suryawan yang banyak menulis tentang Papua. Lebih khusus, Beni  terkesan pada tulisan Ngurah Suryawan soal pendidikan ala Papua yang ditulis beliau di salah satu bukunya.

Beni percaya bahwa dengan membaca, wawasan kita akan semakin bertambah. "Kita dapat menjadi pribadi yang lebih tenang dalam menghadapi sebuah masalah yang datang menghampiri. Selain itu, dengan membaca, otak kita akan semakin peka dalam melihat masalah yang muncul." Ungkapnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline