Lihat ke Halaman Asli

D. Rifanto

TERVERIFIKASI

Membaca, menulis dan menggerakkan.

Kenangan Malam Sakura di Jayapura

Diperbarui: 14 Desember 2021   08:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi sakura. (pixabay.com/meguraw645)

"Bila kau ingin jadi terbaik dalam satu bidang, jangan pernah surutkan niatmu. Hadapi semua tantangan yang diberikannya. -- Kita ini adalah apa yang dilakukan berulang kali. Karena itu, keunggulan bukanlah sebuah tindakan melainkan sebuah kebiasaan." --Malam Sakura.

Buku berjudul "Malam Sakura" ini ditulis sebagai sebuah memoar dari penulisnya, Alex Runggeary. Seorang penulis produktif yang tinggal di Mimika, dengan kemampuan menulis fiksi dan non-fiksi yang baik. Ini terlihat dari karya-karyanya, yang saya rasa, sangat penting untuk kita ketahui.

Beragam karyanya mulai dari buku fiksi yang ia tulis, antara lain The Darkened Valley (2018),Memutus Siklus (2020), Burung Murai (2020), Berpapasan dengan Kematian (2020), Penulis Pinggiran (2020) dan Drama Banti (2021), menjadi karyanya yang paling baru, dan begitu inginnya  saya membeli buku tersebut, bulan ini. 

Tetapi, sembari menulis, saya teringat buku saya yang berjudul The Darkened Valley, sedang dipinjam seorang kawan setahun ini dan belum juga kembali, duh nasib!

Sedang karya non fiksi yang ia tulis, antara lain ; Membangun Masyarakat Mandiri (2016), Teknik Menyusun Rencana Strategis (2017), Strategi Terintegrasi Membangun Papua (2017), Bernapas Dalam Air -- Teknik Renang (2019). 

Seperti yang akan jadi pembahasan kali ini, ia pun menuliskan kisah memoar tentang cuplikan pengalaman remaja dan dewasanya, yang saat dibaca, bisa membuat kita tersenyum sendiri membayangkan kejadian, kekonyolan yang dilakukannya bersama teman -- temannya. 

Tulisannya ini membuat kita punya sedikit gambaran tentang (remaja) Jayapura di awal tahun 70an. Buku itu adalah Malam Sakura-Kisah Remaja dan Persahabatan (2018)

Malam Sakura membawa kita sejenak periode waktu di tahun 1970-1974, di Jayapura. Buku yang dipersembahkan kepada teman-teman anggota sebuah komunitas bernama "de Takas" Universitas Cenderawasih (Uncen), menceritakan tentang masa muda sang penulis, saat berkuliah di sana dan ia bergabung menjadi anggota komunitas "de Takas" atau takaruang/tak becus, begitu artinya. 

Pada komunitas yang begitu berkesan dalam masa remajanya ini, ia dipanggil dengan panggilan Pak Let, oleh anggota komunitas yang berisi anak muda dari berbagai jurusan di Uncen. 

Panggilan yang membanggakan dan penuh cerita yang perlu anda ketahui tentu saja dengan membaca bukunya, itu pasti.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline