"Tidak ada anak yang lahir suka baca. Ia dilatih, dibentuk. - Adian Cambers"
Mencari, membeli, mengoleksi dan kemudian membaca buku -buku bacaan anak berkonteks Papua, tak datang begitu saja pada diri saya. Walau lahir dan dibesarkan di sebuah kota kecil di Papua yang bernama Nabire, tak serta merta kesenangan membaca buku berlatar Papua hadir.
Menengok ke belakang, kegemaran ini berawal pada tahun 2012, ketika bersama teman-teman menggeluti inisiatif galang donasi buku bernama Bukuntukpapua. Inisiatif yang menjadi pintu masuk pada buku bacaan anak berlatar Papua, khususnya.
Kecintaan akan buku-buku, membuat saya menyadari hal-hal menarik dan mengejutkan yang saya temui pada buku bacaan anak berlatar Papua. Antara lain pada beberapa buku terdapat penggambaran yang kurang akurat, sedikitnya judul buku anak berlatar Papua yang dapat dibeli di toko buku.
Pada sebuah kesempatan di awal November 2021, ketika menyimak paparan Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Bapak Syarif Bando, saya menemukan sebuah informasi bahwasanya rasio buku secara nasional dengan perbandingan jumlah penduduk dan jumlah buku, adalah kurang lebih 270,20 Juta Jiwa berbanding 22jt eksemplar. Atau 1 buku: 90 orang.
Dan jika sedikit mundur ke belakang, di mana hasil penilaian membaca kelas awal nasional (EGRA, USAID/ RTI, 2014-Riset INOVASI) yang dilaksanakan di tahun 2014, menunjukkan hanya 47 persen siswa kelas dua SD yang dapat membaca dengan lancar dan mengerti artinya; yang berarti mereka layak melanjutkan ke kelas tiga. Di wilayah Indonesia timur (Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua), angka ini hanya menyentuh 23 persen.
Temuan Inovasi antara lain, yang pertama kurangnya kurikulum atau kompetensi guru untuk mengajar membaca di kelas awal, karena keliru berasumsi bahwa semua anak yang masuk kelas satu SD sudah bisa membaca; kedua rendahnya mutu kompetensi mengajar dan keterampilan tentang bagaimana mengajarkan membaca dan literasi; dan ketiga.
Terbatasnya akses ke materi bacaan yang tepat, terutama siswa di wilayah terpencil, tapi juga di seluruh negeri secara umum. Tidak ada (sedikitnya) buku bacaan anak yang cukup menarik dan tepat usia (buku bacaan berjenjang) yang tersedia di negeri ini.
Terlebih lagi, anak-anak yang tidak memiliki kemampuan membaca dasar di kelas awal akan tertinggal dari teman-teman mereka, tanpa pernah bisa mengejar ketertinggalannya. Mereka akan sulit memahami pelajaran di kelas yang lebih tinggi.
Pada tahun 2015, saya mulai mencari, membeli, mengoleksi dan membaca buku-buku bacaan anak berlatar Papua sampai dengan sekarang. Baik berkunjung ke toko buku, bertanya pada siapa saja, melihat di postingan kawan sampai mencarinya secara berkala di internet untuk perlahan mulai mendata dan mengurasi buku-buku tersebut.