Lihat ke Halaman Asli

D. Rifanto

TERVERIFIKASI

Membaca, menulis dan menggerakkan.

Kemampuan Membaca, Efek Matthew dan Kisah Dolfince dari Sorong

Diperbarui: 7 Juni 2021   07:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi dari @PinjamPustaka - Sorong


"Pelajar di daerah pinggiran Kabupaten Jayawijaya, Papua, baru bisa membaca setelah berada di kelas IV sekolah dasar (SD). Kondisi ini berbeda dengan siswa siswi yang berada di Kota Wamena" begitu petikan berita pendidikan yang saya baca pada media online, dan rupanya memancing salah seorang senior mengomentari postingan tersebut dengan tanggapan bahwa ini menjadi salah satu masalah awal, berdampak pada rendahnya daya saing yang kemudian memicu kecemburuan sosial. Berita itu membuat saya membayangkan banyak hal ikutan lainnya yang pada mulanya disebabkan oleh tidak lancar membaca, serta tak tumbuhnya budaya membaca.

Membaca (dan menulis) segera mengingatkan saya pada literasi. Literasi, secara sempit dapat dimaknai sebagai kemampuan membaca dan menulis, UNESCO sendiri merumuskan definisinya menjadi seperangkat keterampilan nyata, terutama ketrampilan dalam membaca dan menulis yang terlepas dari konteks yang mana ketrampilan itu diperoleh serta siapa yang memperolehnya. Tetapi dalam perkembangannya, mengalami perluasan makna untuk menjawab tantangan yang dihadapi. Dalam sebuah seminar daring, saya mengutip pendapdat Prof. E. Aminudin Aziz tentang literasi,di mana literasi ia definisikan sebagai kemampuan untuk memahami teks dan nonteks dan menerapkannya dalam komunikasi yang efektif dan kritis. Dalam arti sempit sebagai kegiatan membaca saja, di Papua kita akan menemukan persoalan seperti dalam berita, apalagi jika mengamini pengertian literasi yang luas, jangan -- jangan problemantikanya semakin pelik.

Kemampuan Membaca dan Efek Matthew.

Pada tahun 2019, Jesica Logan, Ph.D et al, dalam Journal of Developmental & Behavioral Pediatrics, mempublikasikan penelitian dengan judul : When Children Not Read At Home = The Million Word Gap, atau Ketika Anak di Rumah Tak Membaca = Kesenjangan Jutaan Kata. Penelitian tersebut mengkonfirmasi betapa pentingnya anak memiliki kebiasaan membaca buku di rumah, dan keluarga memainkan peranan amat penting untuk mendukung keberhasilan itu.

Penelitian Logan ingin melihat apa dampak dari kesenjangan "penguasaan kosa kata" dari anak yang tak memiliki akses terhadap buku bacaan, dan mereka yang memiliki akses, dalam lima tahun pertama usia anak. Hasilnya adalah anak yang terbiasa dibacakan buku bacaan bergambar oleh orang tuanya setiap hari (dan nantinya kemudian membaca buku), dalam setahun kurang lebih anak akan terpapar pada 78.000 kosa kata. Secara kumulatif, jika ditotal dalam usia lima tahun pertama, maka kurang lebih anak akan mendengarkan 1.4 juta lebih kosa kata dibandingkan mereka yang tak dibacakan buku (dan kemudian membaca buku). Kebiasaan mendengar begitu banyaknya kosa kata melalui perantaraan cerita (dalam buku) menjadi fondasi penting bagi anak, dalam menghadapi dunia persekolahan.

Tidak hanya itu, fenomena anak -- anak yang lamban dalam membaca dan memahami bacaan di kelas awal, rentan mengalami kegagalan dalam kelas -- kelas selanjutnya, Lukman Solihin dalam laporannya berjudul "Darurat Literasi di Ruang Kelas" menyatakan bahwa rendahnya kecakapan membaca di kelas awal ibarat kondisi tengkes (stunting) dalam dunia kesehatan. Pada anak dengan kondisi tengkes, periode emas perkembangan otaknya terhambat karena kurangnya asupan nutrisi. Akibatnya, kapasitas intelektual anak tidak berkembang optimal. Begitu pula dengan lemahnya literasi membaca dapat mempengaruhi terhadap keberhasilan anak dalam mengarungi dunia pendidikan. Atau dengan kata lain, siswa yang kesulitan membaca akan menemui banyak permasalahan dalam belajar.

Efek Matthew (Stanovich, 1996), menjelaskan bahwa dampak bagi siswa yang tidak bisa membaca dengan baik di kelas awal akan kehilangan motivasi, hanya mampu menyerap sedikit informasi, serta tidak mampu memahami informasi yang kompleks. Dan kelambanan dalam hal membaca ini akan membuat anak -- anak rentan mengalami kegagalan pada kelas-kelas selanjutnya.

Melihat Indeks Literasi di Papua dan Papua Barat.

Indeks Alibaca Provinsi dari Tinggi ke Rendah (Indeks Aktivitas Literasi Membaca - Kemdikbud)

Indeks aktivitas literasi membaca 34 provinsi di Indonesia melihat persoalan literasi menggunakan empat dimensi, di mana dimensi tersebut adalah akses, kecakapan, budaya dan alternatif.

Secara keseluruhan, Papua dan Papua Barat menempati dua peringkat terbawah dalam survei yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan Kemdikbud, pada tahun 2019 lalu. Dan hal ini menjadi catatan penting dalam survei, di mana disebutkan bahwa "Pemerintah dan pemerintah daerah perlu memberikan perhatian khusus kepada daerah/provinsi yang memiliki tingkat indeks literasi membaca yang rendah, terutama provinsi Papua dan Papua Barat serta Kalimantan Barat".

Jika dibedah lebih dalam, laporan ini menyatakan bahwa sekali lagi, dimensi dengan nilai paling rendah adalah dimensi akses, yang berarti ada dua subdimensi yaitu akses di sekolah, dan akses di masyarakat. Terkait sekolah Akses di sekolah masuk kategori sangat rendah yang ditunjukkan oleh minimnya angka perpustakaan sekolah dalam kondisi baik dan belum memadainya jumlah petugas pengelola perpustakaan sekolah. Sedangkan akses di masyarakat terdiri dari keberadaan perpustakaan umum, perpustakaan komunitas, serta rumah tangga yang membeli surat kabar dan majalah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline