Masih segar dalam benak ketika membicarakan berita mengenai Ujian Nasional (UN) yang baru saja berlangsung bulan kemarin. Siswa Menengah atas dan menengah pertama pun masih was-was menanti pengumuman hasil ujian nasional mereka, apakah lulus dan bisa merancang masa depan yang lebih baik lagi atau tidak lulus lalu depresi, tanpa pikir panjang dan akhirnya banyak yang bunuh diri untuk mengakhiri masa depan yang menurut mereka sudah hancur berantakan.
Berbicara mengenai pendidikan memang tak ada habisnya, karena pendidikan merupakan rantai dari lingkaran setan kebodohan dan kebobrokan moral yang harus segera dibenahi dan diberikan perhatian yang lebih di negara kita yang tercinta ini, Indonesia.
Ujian Nasional (UN) merupakan suatu bentuk standarisasi pendidikan agar seorang siswa bisa menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi di Indonesia. Menurut fungsinya berdasarkan Undang-undang 20 Tahun 2003 Pasal 57 ayat 1 dan 2 mengenai Ujian Nasional, yang berbunyi : “Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.” Dan “Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga, dan program pendidikan pada jalur formal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan, dan jenis pendidikan.”
Banyak sekali perdebatan dan opini masyarakat mengenai UN sebagai penentu kelulusan dan standar mutu pendidikan saat ini, hal ini disebabkan oleh banyaknya faktor-faktor baik teknis maupun non-teknis yang menghambat pelaksanaan UN seperti terlambatnya distribusi soal sehingga menyebabkan ketidak serentakan pelaksanaan UN, belum meratanya kualitas dan mutu pendidikan di setiap daerah terutama daerah-daerah terpencil dan perbatasan yang fasilitas pendidikan dan tenaga pengajarnya-pun masih sedikit, lalu UN yang berlangsung hanya beberapa juga dinilai kurang bisa merepresentatifkan karakter dan kualitas siswa yang telah menempuh pendidikan selama bertahun-tahun.
Permasalahan-permasalahan diatas kadang selalu dilihat sebagai kesalahan pemerintah dalam menentukan kebijakan dan juga mengimplementasikan kebijakan tersebut. Padahal ketika berbicara mengenai carut-marutnya sebuah sistem pendidikan tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pemerintah atau pelaksana sistem pendidikan itu sendiri yaitu guru, karena selain di sekolah, siswa juga menerima suatu proses belajar ketika perjalanan ke sekolah, pulang ke rumah dan tentu saja saat berada di rumah. Jadi pendidikan ini merupakan suatu tanggung jawab bersama, apalagi ketika berbicara mengenai rusaknya moral para siswa, karena justru waktu terbanyak seorang siswa untuk belajar adalah ketika berada dirumah, perjalanan menuju sekolah dan perjalanan pulang ke rumah. Belajar juga merupakan proses mendengar, melihat, mencontoh dan mengaplikasikan. Peranan orang tua sangat dibutuhkan sebagai “role model” siswa ketika dirumah. Dan yang sangat disayangkan adalah sewaktu seorang siswa berada dirumah justru lebih banyak waktunya dihabiskan untuk bersama pembantu rumah tangga dikarenakan kedua orang tua yang sibuk bekerja.
Disamping itu kondisi guru di sekolah-pun akhir-akhir ini sangat menyedihkan, disaat seharusnya guru dapat menjadi panutan seorang siswa ketika berada disekolah, banyak guru yang alih-alih memberikan contoh yang baik malahan memberikan contoh-contoh tindakan yang krisis moral seperti yang berkembang saat ini adalah maraknya pencabulan yang dilakukan oleh seorang guru, kasus-kasus suap, bisnis-bisnis sampingan guru yang akhirnya melibatkan siswanya untuk menjadi pasar utama, kurangnya penghargaan terhadap apa yang sudah dicapai oleh siswanya. Sekali lagi, karena belajar adalah proses proses mendengar, melihat, mencontoh dan mengaplikasikan. Seorang guru tidak bisa hanya memberikan suatu nasihat-nasihat yang baik dan berharap siswanya akan menjadi baik.
Lalu kondisi lingkungan saat ini pun sangat memprihatinkan untuk menjadi contoh pembelajaran bagi seorang siswa, mengenai kasus-kasus pemerintahan, anarkisme, korupsi, pemerkosaan dan juga konflik antar umat beragama yang mungkin ketika dibandingkan dengan apa yang mereka dapatkan dibuku-buku pelajaran disekolah sangat jauh berbeda. Belum lagi media yang terkadang terlalu memblow up suatu berita tanpa ada nilai-nilai moral yang bisa disampaikan.
Oleh karena itu untuk memperbaiki carut marutnya pendidikan saat ini benar-benar membutuhkan kerja sama yang baik dari semua pihak untuk memperbaikinya. Pendidikan merupakan sistem yang berjalan terus menerus dan berkelanjutan, oleh karena itu baik dan buruknya Indonesia saat ini adalah hasil potret sistem pendidikan 30 tahun yang lalu. Dan tentu saja kita semua tidak ingin 30 tahun mendatang kondisi pendidikan menjadi lebih carut-marut dari sekarang. Ini bukan hanya masalah siapa pemimpinnya dan apa kebijakannya, tetapi ini dimulai dari diri sendiri untuk bisa menjadi contoh yang baik bagi pelajar di Indonesia.
Sebuah kalimat bisa menjadi nasihat, sebuah nasihat bisa menjadi sebuah inspirasi, sebuah inspirasi bisa menjadi contoh dan semua itu bisa menjadi guru demi terciptanya pendidikan yang lebih baik untuk Indonesia. Kalau bukan dari kita sendiri, dari siapa lagi?
Selamat hari pendidikan nasional! Jaya terus bangsaku, jaya terus negeriku....
Jakarta, 2 Mei 2013
Penulis:
Daymas Arangga Radiandra
Mahasiswa Jurusan Teknik Perminyakan Universitas Trisakti
aranggadaymas@yahoo.co.uk
@daydedaydust
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H