Lihat ke Halaman Asli

Blusukan Style

Diperbarui: 24 Juni 2015   12:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Fenomena blusukan yang menjadi warna baru bagi perjalanan demokrasi di indonesia memiliki makna tersendiri dalam proses pendewasaan berpolitik. Blusukan bukan menjadi topeng untuk mendulang suara, serta bukan hanya dilakukan pra pilkada. Tetapi blusukan menjadi konsekuensi logis bagi para calon kepala daerah baik pra maupun pasca pilkada. Sehingga blusukan style tidak hanya menjadi ajang cari muka, melainkan ada tindak lanjut setelah sang calon kepala daerah terpilih. Bukan malah ditinggalkan, sehingga ada dan tidak adanya pemerintah sama saja. Tidaka ada efek signifikan.

Blusukan style pertama kali dikenalkan oleh joko widodo yang saat itu mencalonkan diri sebagai gubernur DKI Jakarta. Jokowi menampilkan proses dialog dengan menemui langsung calon pemilihnya meski terletak di pinggiran ibu kota. Tak lupa Jokowi juga mengenalkan program kartu jakarta sehat (KJS) dan kartu pintar.

Banyak kalangan yang berspekulasi, Blusukan yang dilakukan Jokowi tidak jauh berbeda dengan calon-calon pemimpin sebelumnya, Hanya untuk  pencitraan dengan tujuan menarik simpati masyarakat. Namun, semua mata terbelalak saat diawal-awal masa jabatan Jokowi. Blusukan yang dilakukan benar-benar diterapkan dalam kesehariannya sebagai orang nomor satu di Ibu Kota Negara. Tak ragu Jokowi ikut berbasah-basahan demi turut serta merasakan penderitaan korban banjir, masuk gorong-gorong jalan hanya untuk melihat kondisi real di lapangan. Bukan hanya itu, pelantikan walikota yang biasanya digelar di hotel berbintang dengan menghamburkan APBD, Jokowi mengajak Wali Kota Jakarta Utara terpilih untuk dilantik di lapangan sekitar daerah kumuh pinggiran jakarta, anggaran yang dikeluarkan tentu jauh lebih minim dibandingkan pelantikan-pelantikan sebelumnya.

Bukan Pencitraan

komitmen restorasi yang dijanjikan jokowi terbukti bukan isapan jempol, kartu jakarta sehat serta kartu pintar benar-benar direalisasikan jokowi. Tanpa apologi dan retorika yang berlebih. Jokowi dengan tegas akan memberikan sanksi kepada rumah sakit yang terbukti mempersulit pasien pemegang kartu jakarta sehat. Meski diawal-awal harus menelan korban jiwa akibat ketidak siapan rumah sakit, namun jikowi tidak mencari alasan untuk berpangku tangan. Jokowi langsung menggelar koordinasi dengan pimpinan rumah sakit serta pihak Dinas Kesehatan Jakarta.

Tidak berhenti disitu, setelah melihat masalah klasik ibu kota, banjir dan macet. Jokowi mengambil langkah cepat penyelesaian masalah dengan mengeruk endapan lumpur sungai-sungai di Jakarta, serta pemberlakuan sistem genap ganjil bagi kendaraan pribadi.

Selain bukan pencitraan, dampak blusukan pun langsung dirasakan masyarakat. Seperti akses kesehatan yang mudah dan ramah dan pendidikan murah berkualitas. Pendidikan dan kesehatan, sekarang bukan lagi menjadi komoditas eksklusif yang hanya dapat dinikmati si kaya. Sehingga kalimat si miskin dilarang sakit atau si miskin tidak boleh pintar, mungkin tidak lagi menjadi bagian dari kehidupan warga jakarta. Kota malang gimana?

Menyebar

Kini, virus blusukan style merebak di berbagai daerah di indonesia. Momennya tentu beberapa saat menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada). Bahkan beberapa calon kepala daerah yang kebetulan satu partai dengan jokowi, tidak ragu memanfaatkan atribut kampanye yang digunakan jokowi saat mencalonkan sebagai dalon gubernur DKI jakarta, seperti baju kotak kotak dan tentunya Blusukan style. Hasilnya, jangan ditanya. Terahir, calon kepala daerah yang menggunakan atribut kampanye jokowi adalah rieke diah pitaloka dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur jawa barat. Tidak tanggung-tanggung, berkat atribut kampanye jokowi serta blusukan style-nya, rieke dan pasangannya teten Masduki mampu meraup 28 persen lebih suara, sehingga menempatkan calon tersebut di posisi runner-up dibawah calon gubernur petahana, Ahmad heryawan dan Deddy Mizwar. Terlepas dari mesin politik serta usaha lain yang dilakukan pasangan Paten.

Penyebaran virus Blusukan style tidak dibarengi dengan kinerja. Calon kepala daerah hanya meniru gaya kampaye kontemporer ala jokowi dalam hal menarik simpati namun belum diterapkan dalah hal kinerja. Kebanyakan mereka kembali ‘tidak menyapa’ konstituennya setelah mereka terpilih. Padahal sebelumnya mereka mau makan bareng dipinggir jalan, menjenguk orang yang sakit. Pemandangan tersebut langka seiring sumpah jabatan yang telah dilakukan. Mereka kembali menjadi pemimpin. Yang belum sanggup melayani masyarakat.

Harapan masyarakat tidak muluk-muluk, berikan hak untuk mengakses kesehatan serta pendidikan. Karena dua hal tadilah yang akan menghantarkan Indonesia menjadi bangsa yang besar. Kesehatan akan menyehatkan raga, pendidikan akan membangunkan jiwa. a�Gia8����rpengaruh pada kondisi fisik. Toh, Lionel Messi bisa berjaya menjadi pemain terbaik dunia tiga kali berturut-turut. Padahal postur pemain yang satu ini tidak seperti kebanyakan pemain eropa.

Tidak ada alasan bagi indonesia untuk tidak berprestasi, segalanya bisa saja menjadi kenyataan. Jika kepentingan masyarakat banyak lebih dikedepankan dibandingkan kepentingan perut oknum-oknum tidak bertanggung jawab. Bahkan pada laga-laga penting presiden sering kali turun gunung memberi semangat kepada para ‘pahlawan’ di lapangan hijau. Pemerintah pun menggelontorkan sejumlah anggaran untuk memberikan bonus tambahan kepada pemain saat berhasil membawa pulang kemenangan maupun menjadi finalis turnamen local asia tenggara maupun piala Asia. Rakyat sangat haus akan juara, minimal juara di tataran lokal (asia tenggara). Rakyat sudah terlalu lama menunggu.

Sekali lagi, pertaruhan yang dihadapi para pemain tim nas bukan perosalan lembaga PSSI maupun pemerintah. Namun pertahuannya adalah 250 juta penduduk indonesia yang setia menunggu kehadiran juara sebagai balasan atas kesetiaan rakyat. Mengembalikan kejayaan sepak bola nasional sama dengan mengembalikan harga diri bangsa, serta menjadi tolak ukur peradaban bangsa. Apakah menjadi bangsa lemah, tempramen atau bangsa sportif yang mengedepankan aspek santun dalam masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline