HULU SUNGAI TENGAH, KALIMANTAN SELATAN - Hidup dan berkehidupan di alam sudah menjadi keseharian umum Masyarakat Adat Dayak Meratus. Mayoritas dari mereka masih mempertahankan sistem berladang, berburu, serta aliran kepercayaan dan hidup tersebar di berbagai dusun tengah hutan untuk menyambung hidup.
Akhir tahun 2021 menjadi sebuah perjalanan baru bagi Nurdin (28) dan Uncit Kesuma (27). Dua pemuda Dayak Meratus dari Dusun Buhul, Desa Batu Perahu, Kecamatan Batang Alai Timur, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) mendapat sebuah tawaran untuk menjadi tutor pada sekolah paket A Mangga Jaya. Masih satu lingkup kecamatan dengan kediamannya.
"Kami terima, warga setempat banyak yang buta aksara dan masih ada ikatan keluarga juga dengan kami," kata Uncit, sembari menjelaskan kisah juangnya, Agustus lalu.
Motivasi mereka tulus untuk mengajar dan berbagi untuk masyarakat. Kendati keduanya hanya menamatkan pendidikan formal setingkat Sekolah Menengah Atas (SMA).
Secara geografis, sekolah Paket A Mangga Jaya terletak di Dusung Mangga Jaya, Desa Aing Bantai, HST. Desa tetangga dari kediaman Nurdin dan Uncit.
Mengajar di Mangga Jaya berarti sudah harus siap menempuh belantara. Ketiadaan akses jalan transportasi, sinyal, maupun listrik sudah menjadi kisah klasik potret pendidikan 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal) pada umumnya.
Dari kediaman mereka, perjalanan normal ditempuh dengan dua hari jalan setapak baru bisa sampai di Dusun Mangga Jaya itu. Medan yang dilewati berupa hutan belantara Pegunungan Meratus dengan segala ancaman dan tantangan satwa liarnya. Tak jarang, mereka juga harus bermalam di tengah hutan jika kelelahan dalam perjalanan. "Berjalan berarti bertaruh nyawa," tambah Uncit.
Pada tahun 2021 layanan pendidikan dari pemerintah setempat baru masuk. Dari catatan Komunitas Akar Bukit, per Agustus 2022 terdapat 75% kasus buta aksara di lokasi itu. Jumlah penduduk desa tersebut tercatat ada 61 kepala keluarga (kk) 203 jiwa. Nurdin dan Uncit khawatir warga setempat bakal terus terjebak dalam ketidaktahuan akses pendidikan.
Bukan keputusan yang mudah dijalankan keduanya mengabdi disana. Nurdin harus rela meninggalkan istri dan dua anaknya, begitupun dengan Uncit juga harus rela meninggalkan istri dan tiga anaknya untuk mengajar selama 15 hari setiap bulannya.
Sebagai pengajar, mulanya mereka digaji Dinas Pendidikan (Disdik) setempat Rp 3,5 juta untuk setiap bulannya. Itu pun terkadang juga digaji telat dan harus tetap nyambi berladang demi mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya. Dilain sisi, harga bahan pokok "di atas gunung" tentu saja berkali-kali lipat lebih mahal dibandingkan pada umumnya. "Dari gaji, kadang dicukup-cukupkan. Itu pun kalau tidak terlambat pencairannya," bebernya.