Saya bukanlah siapa-siapa di dunia TI, tapi cuman agak gimana gitu kalau menjelaskan istilah tapi penemu istilah itu sendiri tidak dikuliti habis-habisan. Sudah banyak artikel tentang Internet of Things berbahasa Indonesia yang berasal dari Negara Indonesia[4] tapi saya mencoba mengulas konteks lahirnya istilah Internet of Things. Ingat ya, KON-teks, KON-teks, kon-TEKS.
Nah yang akan saya gali itu seputar siapa penemu istilah Internet of Things, masalah apa yang sedang beliau hadapi kok bisa-bisanya punya ide Internet of Things, dan seperti apa wujud konkrit pertama dari solusi berupa Internet of Things itu, serta siapa saja pemangku kepentingan yang paling berperan.
Penemu Internet of Things itu Kevin Ashton, siapa beliau?
Beliau adalah Brand Manager lipstik Oil of Olay milik Procter & Gamble, alumni Studi Skandinavia di Universitas London [5]. Suatu hari sedang inspeksi mendadak (sidak) di Toserba Tesco lalu mendapati lipstiknya tidak berada di rak, beliau pun menghubungi divisi Supply Chain P&G tempat ia bekerja namun ternyata jumlah barang masih banyak [1].
Lalu Masalahnya apa?
Ketiadaan stok lipstik di rak Toserba Tesco tersebut dapat mengecewakan pelanggan. Nah bagaimana caranya, lipstik selalu ada di rak ketika pelanggan membeli? Inilah masalah pertama yang menginspirasi Kevin Ashton mempunyai ide Internet of Things [1][3][5][6].
Apa solusi yang terpikirkan Kevin Ashton?
Ganti UPC barcode dengan RFID [3]. Pasang RFID reader disetiap rak, kasir, gerbang gudang, gerbang truk [3]. Serta sistem yang secara proaktif menginformasikan pihak ritel dan manufaktur mengenai kejadian penyusutan dan persediaan habis [3].
Pemangku Kepentingan
Procter & Gamble, MIT Media Lab, AutoID Lab, Uniform Code Council, Gillette, EPCGlobal.
Saatnya Gedabrus, Ngamen, bahasa jawanya "adol abab", bahasa inggrisnya "ado", bertele-tele, apalah namanya
Lah, ternyata seperti itu yah? gimana perasaan pembaca pas tahu sederet fakta diatas? Saya sendiri tak habis pikir, penemu istilah Internet of Things itu dulunya kuliah mendalami Studi Skandinavia, kerja sebagai Brand Manager untuk produk lipstik. Lha penulis sendiri alumni Teknik Informatika jadi rada-rada shock gimana gitu mengetahui latar belakang beliau, maap bukan sombong ya tapi memangnya beliau tahu apa itu non-blocking socket, port 80, bedanya client dan server, apalagi netty.io? Lha terus maksud judul Internet of Things di dalam presentasinya menghadapi petinggi P&G itu apa coba[1][3][5][6], ternyata oh ternyata, maksudnya Internet of Things sepemahaman beliau[5] itu seharusnya yang memasukkan data jumlah barang pas di kasir itu bukan manusia, seharusnya yang memasukkan data jumlah barang ketika penerimaan di gudang ritel itu bukan manusia, seharusnya yang memasukkan data jumlah barang ketika shipping dari pemasok itu bukan manusia, seharusnya yang memasukkan data jumlah barang ketika pengepakan itu bukan manusia. Lha Thing itu maksudnya barang-barang dalam hal ini lipstik itu bisa memberi tahu perusahaan berapa jumlah barang yang lalu-lalang tersebut. Itu saudara-saudara. Jadi, yang memasukkan data jumlah barang bukan manusia, lalu yang memasukkan data siapa? RFID reader semacam Alien ALR-9900+ yang akan meneruskan data jumlah barang tersebut ke server ALE (Application Level Event) seperti Savant.
Hayooh...
Kalau mau dianalisa lebih dalam, bidang yang menghadapi masalah Pak Kevin Ashton itu saling overlap, tumpang tindih dengan bidang akuntansi, Teknik Mesin, Teknik Industri, Ekonomi Manajemen, Matematika, serta Teknik Informatika, dan entah berapa lagi bidang yang overlap. Pak Kevin Ashton sampai bilang
"Everyone’s mind shuts off when you say supply chain."[1]
Di akuntansi ada bab tentang akuntansi persediaan, ada dua jenis sistem akuntansi persediaan yaitu Perpetual dan Periodik. Perbedaan inti di sistem Perpetual perusahaan dagang dan perusahaan industri/manufaktur bisa tahu saldo rekening Harga Pokok Penjualan dan jumlah barang setiap saat, sedangkan sistem Periodik hanya di akhir periode akuntansi saja. Pun juga di jurusan akuntansi ada kajian tentang teknik untuk menyemimbangkan trade-off antara Inventory Cost dan Stock Out Cost, serta antara Carrying Cost dan Order Cost.
Lah, kalau di teknik mesin, teknik industri, ekonomi manajamen, mereka semua mengkaji tentang fenomena bullwhip effect, kok Bullwhip Effect? tuh Prof Sanjay Sarma yang dipercayai Kevin Ashton untuk menyediakan solusi yang bilang[3]. Nah, Bullwhip effect itu sepahaman penulis yang memiliki kapasitas mikir yang terbatas ini, begini, kalau ritel pengen beli barang itu ada proses meramal permintaan (demand), kira-kira berapa ya kebutuhan yang akan terjadi selama pemesanan dipenuhi oleh pemasok, nah cari amannya pihak pembeli membesarkan nilai pesanan ke pemasok. Lalu pemasok perantara berikutnya juga begitu dan seterusnya sampai ke pemasok paling ujung. Lah cara meramal pun ada tekniknya, dan kesemua jurusan tadi juga mempelajari cara meramal permintaan, demand forecasting, sales forecasting, dan apalah namanya. Ada Holt Winter, dan kawan-kawan yang sempat saya tuliskan di postingan saya berikut Data Mining: Algoritma Forecast untuk Meramal Permintaan Pencukur Bulu di Toserba Waljinah (bag. 1).