"Tuhan, tampakkanlah kepadaku kebenaran sebagai kebenaran dan kuatkanlah aku untuk mengikutinya serta tampakkanlah kepadaku kesalahan sebagai kesalahan dan kuatkan pula untuk menyingkirkannya"
- Doa Nabi Muhammad, diriwayatkan oleh Imam Ahmad
Baru-baru ini ramai kasus pencemaran nama baik kepada seorang anggota BEM FMIPA UNY berinisial MF. Main hakim pun secara masif terjadi di media sosial khususnya di media X (dulu twitter) dimana MF langsung dihujat habis-habisan terkait dugaan kekerasan seksual yang dilakukan. Padahal setelah investigasi menyeluruh yang dilakukan kepolisian dan pihak kampus, terbukti bahwa dugaan tersebut merupakan skenario buatan yang dibuat oleh adik tingkat MF yang merasa sakit hati karena ditegur di salah satu acara BEM. Pelaku pun sudah resmi ditahan oleh pihak kepolisian dan MF sudah dibebaskan dari segala prasangka nya. Walau terbebas dari segala dugaan, cancel culture yang dilakukan masyarakat berimbas kepada mental MF.
Akibat tindakan main hakim yang dilakukan warganet, nama baik MF tercoreng dan harus dipulihkan atas sesuatu yang tidak dilakukannya. Masyarakat lupa mengenai salah satu prinsip terpenting dalam hukum yaitu Presumption of Innocence yang menegaskan not guilty until proven atau tidak bersalah sebelum terbukti. Kasus ini merupakan pelanggaran berat atas hak asasi manusia dan juga kewajiban masyarakat untuk menghormati seluruh proses hukum dan investigasi yang sedang berlangsung. Alih-alih taat, masyarakat langsung "bersilaturahmi" menyerang MF yang dijebak.
Skenario serupa bisa terjadi kepada siapapun. Orang semulia Yesus Kristus pun menjadi korban cancel culture pada zamannya berujung kepada... saya rasa semua tahu ujungnya. Disini, kita bisa melihat bahwa semua orang ingin dihormati dan dihargai, tapi tidak semua orang mau menghormati dan menghargai. Semua orang ingin didengar tapi tidak semua orang mau mendengar. Semua orang ingin diberikan kesempatan tapi tidak semua orang mau memberikan kesempatan untuk orang lain. Padahal, keduanya adalah hak dan kewajiban yang semua orang harus taati. Ini adalah paradoks besar akan hak dan kewajiban.
Lantas, bagaimana agar kejadian serupa tidak terjadi lagi? Apa antidote untuk virus kecacatan berpikir yang sudah mewabah di masyarakat ini?
Harmonisasi Hak dan Kewajiban
Harmonisasi hak dan kewajiban dapat didefinisikan sebagai proses menyesuaikan dan menyeimbangkan hak dan tanggung jawab individu, kelompok, dan lembaga dalam sistem hukum. Proses ini penting untuk memastikan sistem hukum yang adil dan efektif dalam melindungi hak dan tanggung jawab semua individu.
Harmonisasi hak dan tanggung jawab sangat penting di Indonesia, negara yang beragam dengan sistem hukum yang kompleks. Konstitusi Indonesia menjamin warga negaranya berbagai hak dasar, termasuk hak untuk hidup, keamanan pribadi, kebebasan beragama, kebebasannya mengekspresikan diri, dan kebebasan berkumpul. Hak-hak ini tidak mutlak karena mereka harus seimbang dengan kewajiban individu untuk menghormati hak-hak orang lain dan untuk mematuhi hukum.
Namun, selama bertahun-tahun, Indonesia mengalami masalah besar dalam mengharmonisasi hak dan kewajiban. Masalah warga Indonesia yang tidak mematuhi kewajiban-kewajiban mereka masih merajalela. Misalnya, main hakim sendiri adalah contoh umum pelanggaran kewajiban di Indonesia. Di Indonesia, pelaku main hakim melanggar Pasal 170 ayat (1) KUHP. Di sisi lain, korban main hakim sendiri tidak mendapatkan hak mereka untuk mendapatkan keadilan yang tepat sesuai dengan hukum.
Akar Masalah: Cacat Berpikir