Lihat ke Halaman Asli

Davina Santosa

Saya senang mencoba hal baru dan melakukan pengkajian mengenai pariwisata.

Ekowisata: Proses Menuju Pariwisata Berkelanjutan? Belum Tentu!

Diperbarui: 6 Desember 2022   14:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: www.goodnewsfromindonesia.id

Maraknya tren-tren pariwisata dapat menjadi modal utama bagi pariwisata untuk tetap berkembang dan beradaptasi di tengah persaingan industri yang ketat saat ini. Hal tersebut juga didasari pada karakteristik pariwisata yang memiliki pola dinamis dan mengikuti perkembangan zaman. Untuk tetap bertahan pada kondisi yang dinamis yang penuh tantangan saat ini, industri pariwisata mengedepankan salah satu konsep pembangunan yang disebut sebagai Pariwisata Berkelanjutan (Sustainable Tourism Development).

Definisi Pariwisata Berkelanjutan menurut United Nations World Tourism Organization (UNWTO), yakni pariwisata yang memperhitungkan sepenuhnya dampak ekonomi, sosial dan lingkungan saat ini dan di masa depan, menangani kebutuhan pengunjung, industri, lingkungan dan masyarakat setempat, dan dapat diaplikasikan ke semua bentuk aktivitas pariwisata di semua jenis destinasi wisata, termasuk wisata massal dan berbagai jenis kegiatan wisata lainnya.

Orientasi pariwisata berkelanjutan yaitu untuk pemerataan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. I Nyoman Sukma Arida tahun 2017 menekankan bahwa konsep Pariwisata Berkelanjutan pada perkembangan pariwisata seharusnya tidak membawa dampak buruk dan dapat menyatu dengan lingkungan, jika kita memaksimalkan dampak positif dan meminimalkan dampak negatif. Salah satu tren pariwisata yang digadang-gadang sebagai alternatif menuju Pariwisata Berkelanjutan yakni penerapan ekowisata. 

Menurut The International Ecotourism Society (TIES, 2015), ekowisata merupakan perjalanan yang bertanggung jawab ke daerah alami dengan tetap berfokus pada menjaga kelestarian lingkungan, menopang kesejahteraan masyarakat lokal dan melibatkan interpretasi dan pendidikan. Dengan kata lain, ekowisata merupakan salah satu jenis pariwisata alam yang kegiatannya tidak hanya berfokus pada kegitan menikmati keindahan alam, tetapi juga mempelajari mengenai konservasi alam dan budaya di dalamnya. Sehingga, wisatawan mendapatkan timbal balik berupa wawasan dan pengetahuan mengenai kawasan alam yang dikunjungi.

Sumber: rimbakita.com

Kelebihan dari ekowisata dibandingkan dengan bentuk wisata yang lainnya adalah dalam ekowisata terdapat unsur pendidikan atau pengetahuan dalam kegiatannya. Sehingga, ekowisata dapat menjadi sarana pengembangan pengetahuan dan pendidikan masyarakat lokal dan wisatawan. Ekowisata juga dapat dikatakan sebagai salah satu wujud pengimplementasian pariwisata berkelanjutan karena kegiatannya berorientasi pada pelestarian lingkungan alam, pelestarian budaya asli, pelibatan masyarakat lokal, dan peningkatan pengetahuan.

Seperti terlihat pada kriteria utama dari ekowisata menurut David Weaver (2008) yang meliputi landasan ekowisata berbasis alam, dimensi keberlanjutan ekowisata dari perspektif konservasi, dimensi keberlanjutan manusia dalam bentuk partisipasi dan manfaat lokal, pembelajaran dan pendidikan sebagai bagian dari pengalaman ekowisata, dan keharusan etis.

Adapun 4 prinsip ekowisata yakni dapat menguntungkan secara ekonomi (economically viable), secara ekologi ramah lingkungan (environmentally benign), secara teknis dapat diterapkan (technically feasible), dan secara sosial dapat diterima oleh masyarakat (socially acceptable) (Karsudi et al. 2010). Melihat dari prinsip dan definisi yang mengutamakan keseimbangan ekologi, masyarakat, ekonomi, dan pendidikan tersebut, ekowisata dianggap menjadi salah satu alternatif menuju proses pariwisata berkelanjutan.

Namun, apakah pada praktiknya dapat benar-benar menjamin pariwisata yang berkelanjutan? Belum tentu. Indikator keberhasilan ekowisata sebagai bentuk implementasi Pariwisata Berkelanjutan dipengaruhi oleh kesesuaian konsep dan prinsip yang ditekankan. Beberapa kasus di Indonesia masih menunjukkan kurangnya kesesuaian prinsip dengan praktik yang dilakukan, seperti terjadi penolakan masyarakat, kurangnya pelibatan masyarakat, eksploitasi sumber daya, self-labeling, ego sektoral, dan sebagainya.

Sumber: jatimtimes.com

Sumber: merdeka.com

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline