Lihat ke Halaman Asli

Budaya Patriarki yang Menghancurkan Emansipasi Wanita

Diperbarui: 31 Oktober 2024   06:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi foto Gender Equality (dokumen pribadi)

JAKARTA -- "Habis Gelap Terbitla Terang," siapa yang tidak kenal dengan kalimat tersebut? Kalimat yang diterbitkan menjadi sebuah buku oleh Raden Ayu Adipati Kartini Djojoadhiningrat atau biasa kita kenal dengan panggilan R.A Kartini. Yaitu, salah satu sosok wanita di Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan untuk Indonesia. Khususnya untuk memperjuangkan kedudukan kaum Wanita di dataran Jawa. 

Selain R.A Kartini, ada juga Dewi Sartika seorang Wanita yang mendukung pendidikan untuk kaum Wanita dengan mendirikan Sekolah Isteri pada tahun 1904 di Bandung, Jawa Barat. Bukan hanya mereka berdua, ada juga Hj. Rangkayo Rasuna Said yang bergerak atas isu -- isu perempuan. Sebenarnya masih banyak lagi Pahlawan Nasional perempuan yang bergerak untuk memperjuangkan kedudukan kaum Wanita di Indonesia.

Hanya saja, seiring berkembangnya zaman emansipasi Wanita yang sudah di perjuangkan oleh Pahlawan -- Pahlawan Nasional Wanita di Indonesia, tidak berjalan dengan semestinya. Masih banyak di luar sana yang beranggapan bahwa Wanita kedudukannya hanya sebatas sampai mengurus rumah, anak, hingga memasak.  

Yang padahal, baik Wanita mau pun Pria, bisa melakukan hal -- hal dasar seperti mengurus rumah, anak, hingga memasak. Namun, tetap saja meski seharusnya bisa dilakukan bersama, tetapi bagi orang -- orang yang menganut pemikiran patriarki Wanita hanyalah dijadikan sebagai objek yang harus memenuhi 'kepuasaan' para Pria.

Bahkan data mengungkapkan sepanjang tahun 2009 hingga 2023, Komnas Perempuan menemukan sekitar 450 kebijakan pemerintah yang diskriminatif terhadap perempuan. 

Deputi Bidang Kesetaraan Gender KPPPA Rini Handayani juga menyampaikan bahwa dari 450 kebijakan tersebut, 65% di antaranya dalam bentuk perarturan daerah (perda) dan 35% di antaranya dalam bentuk peraturan lainnya dan keputusan Kepala Daerah seperti, keputusan Gurbernur, Bupati, dan Wali Kota (Redaksi: Suara.com).

Tentunya banyaknya kebijakan diskriminatif terhadap perempuan ini, terjadi karena masih banyaknya orang di luar sana yang melegalkan budaya patriarki. Yang dimana bila ditelaah lebih lanjut, budaya patriarki ini bukan hanya melakukan diskriminatif terhadap perempuan. 

Tetapi, juga sudah melakukan  'penghinaan' terhadap perempuan. Seperti yang dilampirkan oleh Badan Pusat Statistik bahwa sudah ada 36.3% kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di perkotaan, dan juga sudah ada 29.8% kasus kekerasan terhadap perempuan di perdesaan pada tahun 2016. 

Sedangkan pada tahun 2022 menurut catatan tahunan Komnas Perempuan, terdapat lebih dari 457.895 kasus kekerasan terhadap perempuan, yang dimana meningkat 1,2% dari tahun sebelumya. Selain itu, menurut data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), pada tahun 2023 kasus kekerasan terhadap perempuan yang didominasi KDRT mencapai 73%.

Angka tesebut tidaklah sedikit. Semakin tahun, semakin banyak kekerasan yang didapati oleh perempuan dengan ada atau tanpanya alasan yang jelas. Padahal, bila kembali ke masa lalu. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline