Tradisi berasal dari Bahasa latin Traditio yang bermakna meneruskan. Tradisi itu sendiri adalah budaya turun temurun yang didalamnya terdapat nilai-nilai, kepercayaan, bahkan norma yang dianut serta bermanfaat bagi sekelompok orang ataupun suatu masyarakat, sehingga mereka melestarikannya.
Seiring berjalannya waktu tradisi pada setiap daerah mulai memudar. Sehingga terjadilah perubahan sosial, yang dimana menurut Maciones (dalam Raho, 2016: 305) perubahan sosial adalah sebuah proses dalam kehidupan masyarakat yang terjadi secara berangsur-angsur mempengaruhi sikap dari waktu ke waktu.
Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki keragaman budaya. Kondisi geografis yang berbeda dari masyarakat Indonesia menjadikan kehidupan bangsa Indonesia menjadi masyarakat majemuk yang berdampingan. Budaya Indonesia merupakan warisan dari generasi pendahulu yang diteruskan kepada generasi masa kini.
Nilai budaya Indonesia merupakan kekuatan yang perlu dimanfaatkan dan dikelola dengan baik. Indonesia memiliki keragaman budaya yang bervariasi dibanding negara lain. Keunikan tersebut mempengaruhi sistem kekerabatan, etika pergaulan, pakaian adat, rumah adat, tari tradisional, alat musik tradisional, senjata tradisional, bahasa dan dialek, instrumen dan lagu daerah, pengetahuan pengobatan dan pengetahuan kuliner (Widiastuti, 2013).
Mapag Sri sebagai upacara sakral daerah Sumedang telah mengalami penurunan simbol budaya. Hal ini diungkapkan oleh Lifiani dan Sukendro (2021), bahwa simbol yang ada dalam ritual Mapag Sri telah berkurang. Penggunaan simbol-simbol patung dan gunungan hasil bumi telah jarang dilaksanakan karena telah digantikan dengan kegiatan tahlil dan doa bersama. Tentu, kegiatan tahlil dan doa bersama juga merupakan kegiatan yang bermanfaat dan mendekatkan masyarakat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Namun, masyarakat daerah masih memiliki tugas moral untuk melestarikan budaya.
Dalam hal ini, perlu adanya integrasi antara kegiatan budaya dengan kegiatan keagamaan agar konsep budaya dan konsep beragama dapat berasimilasi. Mapag Sri sebagai warisan budaya nusantara perlu dikenal kembali di kancah nasional dan internasional sebagai ritual budaya yang memiliki makna sakral bagi warga Sumedang.
Lalu, apakah upacara Mapag Sri dapat dikenalkan secara luas di Indonesia maupun mancanegara? Bagaimana peranan masyarakat dalam mengenalkan budaya daerah?
Artikel ini mengkaji nilai-nilai budaya upacara Mapag Sri dalam lingkup budaya serta langkah-langkah yang dapat dilakukan masyarakat umum untuk memperkenalkan upacara Mapag Sri di kancah nasional dan internasional.
Salah satu bentuk kekayaan budaya Indonesia adalah upacara Mapag Sri yang berasal dari daerah Jawa, terutama Jawa Barat. Mapag Sri jika ditinjau dari segi kebahasaan memiliki arti menjemput padi. Dalam bahasa Jawa halus, kata mapag bermakna menjemput, sedangkan kata sri bermakna sebagai padi. Meskipun panen dilksanakan setiap tahun, Mapag Sri tidak selalu dilaksanakan tiap tahun. Alasan yang mendasari tidak dilakukannya Mapag Sri adalah keamanan dan buruknya hasil panen (Indramayukab, 2016)
Ritual atau upacara daerah juga diiringi oleh mitos-mitos yang berkaitan dengan perlakuan masyarakat terhadap upacara. Dalam upacara Mapag Sri, terdapat mitos masyarakat yang menganggap bahwa jika upacara ini tidak dilaksanakan, maka dapat menimbulkan bencana alam dan gagal panen. Mapag Sri tidak hanya dipandang sebagai upacara daerah dan bentuk rasa Syukur. Lebih jauh, Mapag Sri adalah sebuah penghormatan terhadap musim panen dan perempuan. Hal ini berkaitan dengan sosok dewi yang menjadi simbolisasi padi dan musim panen yaitu Dewi Sri. Terdapat hubungan penting antara peran perempuan dengan prosesi adat Mapag Sri, di antaranya adalah feminisme dan kesetaraan peran antara gender perepuan dengan laki-laki (Rohmana, 2014).
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa upacara Mapag Sri berfungsi sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat Sumedang terhadap kesuburan dan hasil panen. Upacara ini juga merupakan simbol penghormatan terhadap Dewi Sri dan perempuan Sumedang. Upacara Mapag Sri dilakukan dengan menetapkan petak sawah siap panen sebagai tempat ritual. Tempat tersebut akan dipanen dalam waktu 30 menit. Secara keseluruhan, upacara ini membutuhkan waktu sekitar 2-3 jam dan hanya dilakukan dalam satu hari. Pihak yang terlibat dalam upacara adalah tokoh adat, aparat desa, kaum perempuan, remaja putri, dan seluruh masyarakat yang ikut meramaikan acara gelaran.