Aku masih mengais luka;
merangkak perlahan, tubuhku menggores tanah,
seperti tiada sisa waktu bagiku tuk lepas dari nestapa.
Entah, mengapa selalu aku terima,
tak jua kuasa bertanya.
Inikah kasih?
Inikah cinta?
Atau hanya ini saja yang aku bisa?
Dipinggirkan oleh kenyataan sudah bukan hal asing bagiku. Bangku lusuh ini, yang sedikit berdecit saat diduduki, setia mendengar keluhanku hari demi hari. Mungkin dia juga lelah, harus menopang separuh resahku setiap saat. Rasanya, aku tak pernah betul-betul berhenti menggerutu melihat dunia di sekelilingku.
"Masih bocah, tahu apa soal dunia?" kata ibuku suatu hari, menatapku sambil tersenyum kecil. Mungkin ada benarnya; aku memang belum layak memperjuangkan banyak hal. Bahkan untuk sekadar mendapat nilai bagus, aku harus ikut les privat dengan salah satu guru di sekolah ini. Namun, bagi bocah SMP yang uang sakunya cuma tiga ribu rupiah, itu hanyalah angan. Begitulah aku, hanya bocah yang hidup dalam dunia khayal.
"Mar! Umar, sudah istirahat! Kamu gak mau keluar kelas?" suara Sony membuyarkan lamunanku. Dia menepuk lenganku dengan penuh semangat. Ajakan bermain keluar yang selalu sama, hanya pindah duduk dari bangku kelas ke bangku taman.
"Yah, bangku taman dan kolam kodok lagi nih?" ucapku datar
"Tempat ini akan jadi sejarah, Mar! Dari sekian banyak titik di sekolah, cuma di taman kolam kodok ini konspirasi-konspirasi penting muncul," Sony berkata penuh keyakinan.
Aku tersenyum miring. "Konspirasi itu cuma khayalan, Son. Idealisme itu juga khayalan, hanya ada di kepala kita. Yang nyata itu ketika kita pengen dapat nilai bagus, harus beli kisi-kisi dari les privat."
"Itu justru konspirasinya! Tapi... iya sih, aku juga ngerasa ada yang aneh." Sony berseru sambil mengangguk serius.
"Emangnya kamu ngerasa gimana?"
"Gini, aku bingung. Kenapa ya setiap anak yang ikut les privat Pak Servo, selalu dapat nilai bagus di ujian Fisika? Bahkan si Baidowi yang pemalas itu bisa dapat nilai 98."
"Ya, artinya kalau mau dapat nilai bagus, harus ikut privat. Hafal kisi-kisi, hafal kunci jawaban." Aku menyahut pelan.