Lihat ke Halaman Asli

(Rase) Suara di Puncak Pepohonan

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Pagi itu, Rase tidak menemukan gurunya. Lelaki tua di tengah hutan itu tidak ada di dalam atau di sekitar podoknya. Rase mengelilingi pondok itu dengan maksud untuk menemukan gurunya. Lelaki muda berumur enam belas itu tak melihat tanda-tanda keberadaan gurunya.

Angin musim kemarau bertiup kencang, menggerakkan dahan dan ranting pohon-pohon jati, menyebabkan beberapa lembar daun jati tua jatuh ke tanah. Suara gemerisik daun-daun yang bergesekan terdengar merdu. Rase sangat akrab dengan suara alam ini, dia menikmatinya.

Tetapi, ada suara-suara asing di puncak pepohonan. Bukan suara daun bergesekan. Bukan suara burung-burung yang sedang bermain di dahan dan ranting. Bukan pula suara satwa liar yang berlompatan dari dahan ke dahan. Dengan ketajaman penglihatannya yang telah terlatih, Rase segera dapat menangkap bayangan sosok manusia.

Seorang lelaki bercaping berdiri di puncak pohon jati, di ujung ranting. Ranting itu bergerak-gerak bukan karena tekanan berat badan lelaki itu, tetapi oleh tiupan angin. Lelaki itu terayun-ayun di ujung ranting. Ilmu meringankan tubuh yang sempurna. Lelaki bercaping itu berpindah dari satu ranting ke ranting lain dengan gerakan ringan. Lelaki bercaping?

Rase memperhatikan lebih seksama. Benar! Lelaki inilah yang berusaha untuk merebut kantung uang Rase di pasar Prambon beberapa tahun yang lalu. Lelaki ini juga yang pernah memasuki kamar Rase dan hendak membunuhnya. Lelaki bercaping itu bergerak dari satu pohon ke pohon lain, mengitari pondok. Rase mengikuti setiap gerakan lelaki itu. Lelaki itu bergerak semakin cepat dan semakin cepat, seperti terbang, dari pohon ke pohon. Rase terus mengikuti gerak lelaki itu dengan pandangan matanya, tetapi lama-kelamaan dia menjadi pusing.

Rase menyadari bahwa lelaki itu sedang menyerang dirinya. Pemuda itu, kemudian, duduk bersila di atas tanah. Matanya terpejam. Pendengarannya yang tajam menangkap setiap gerak lelaki itu. Tiba-tiba, lelaki itu menukik, melayang turun dari puncak pohon, menyerang Rase. Tongkat bambu kuning di tangannya mengarah ke kepala pemuda yang masih bersila itu.

Mendapat serangan mematikan seperti itu, Rase mengumpulkan semangatnya. Dia menyalurkan seluruh semangatnya menuju kedua telapak tangannya. Dengan mata masih terpejam, Rase menangkis serangan. Segumpal nyala api meluncur keluar dari kedua telapak tangan Rase.

“Dhuuarr!” Sebuah tunggul pohon jati hancur dan terbakar. Rase tidak mendengar suara gerakan ataupun napas orang. Rase membuka matanya. Lelaki bercaping itu tidak ada. Namun, tiba-tiba Rase merasakan sebuah serangan dari arah belakang. Pemuda itu melompat, menghindar. Ujung tongkat bambu lelaki itu menyambar mengejar kemanapun Rase bergerak. Pada suatu kesempatan, Rase sempat meraih sepotong ranting.

“Kisanak, tunggu!” Rase berseru. “Apa alasan Kisanak menyerang saya?”

Lelaki itu tidak menjawab, melainkan kembali melakukan serangan bertubi-tubi. Rase hanya menangkis dan menghindar, dia merasa tidak punya alasan untuk balas menyerang. Dia menggerakkan ranting di tangannya berputar melindungi tubuhnya. Sedemikian cepat gerakannya sehingga ranting itu berbunyi mencicit-cicit. Karena tidak membalas serangan, semakin lama Rase semakin terdesak.

“Membalas serangan adalah juga merupakan pertahanan diri yang baik,” Rase teringat perkataan gurunya. Maka, dia mulai membalas serangan lelaki bercaping itu. Ranting di tangan Rase bergerak sangat cepat lebih cepat dari gerakan tongkat bambu kuning. Lelaki itu mulai terdesak. Rase berada di atas angin. Ranting itu memotong cepat ke arah leher lawan, lelaki itu nampak terkejut. Dia tidak sempat lagi menghindar atau menangkis. Rase tidak bermaksud melukai lelaki itu, karenanya dia segera membelokkan arah serangannya. Rase menjadi lengah. Lelaki bercaping melihat kesempatan itu, ujung tongkat bambunya tepat mengenai sasaran, ulu hati.

Rase merasakan hawa panas dan rasa nyeri di seluruh tubuhnya. Pandangannya menjadi kabur. Samar-samar dilihatnya lelaki bercaping itu melompat, melayang ke atas puncak pohon-pohon jati. Rase memejamkan mata. Pendengarannya masih dapat menangkap suara di puncak pepohonan. Kemudian gelap, sunyi.

Pesan moral:

Karena Rase lengah, lelaki bercaping itu bisa menyarangkan sebuah serangan telak. Kewaspadaan selalu diperlukan agar lawan tidak memiliki kesempatan melakukan serangan.

Cerita Rase lainnya dapat dilihat di Prajurit Telik Sandi Mahapatih Gajah Mada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline