Rase duduk bersila di depan lelaki tua di tengah hutan. Lelaki itu mengajarkan ilmu mengirim suara, Rase mendengarkan dengan minat yang besar. “Kalau kamu bisa mendengar apa yang aku katakan, maka kamu sudah mempelajari ilmu ini setengahnya,” kata lelaki itu. “Untuk bisa mendengar, kamu harus melatih kepekaanmu,” tambahnya tanpa membuka mulut. Rase memusatkan perhatian. Dia memejamkan mata, mempertajam indera pendengaran.
Lelaki itu, juga memejamkan mata, bercerita kepada Rase tentang pedang kayu jati. Ada beberapa pedang kayu jati. Pedang ini merupakan salah satu cara bagi prajurit Majapahit untuk mendapatkan kenaikan pangkat.
Para prajurit Majapahit terdiri dari tamtama, bintara, dan perwira. Mereka bisa mendapatkan kenaikan pangkat melalui tiga jalur: berbuat jasa terhadap kerajaan, setia pada kerajaan, atau menjadi pemegang pedang kayu jati.
Pedang kayu jati, sesuai namanya, terbuat dari kayu jati pilihan. Panjangnya satu depa. Lebarnya se telapak tangan orang dewasa. Pedang kayu jati adalah lambang jabatan dan kekuasaan. Pemegangnya berhak mengepalai suatu pasukan terdiri dari seratus orang. Nama pemegang pedang diukirkan pada pedang itu. Pemegang pedang ini harus bisa mempertahankannya pada linuhur satrio pinilih - pemilihan kepala pasukan – yang dilaksanakan setiap empat tahun sekali.
Dalam pemilihan tersebut, pemegang pedang harus beradu ilmu kanuragan dengan calon terkuat dari pasukannya. Jika dia bisa mempertahankan pedang itu dua kali berturut-turut, dia akan diangkat untuk mengepalai suatu pasukan yang terdiri dari lima ratus orang. Dan begitu seterusnya. Selain kemampuannya mempertahankan pedang melalui adu jurus, seorang pemegang pedang kayu jati harus memiliki reputasi baik. Dia harus disegani dan dihormati oleh pasukannya.
Dalam linuhur satrio pinilih, calon yang kalah akan dapat menerima kekalahannya dengan lapang dada. Tak ada dendam. Sebaliknya, yang menang tidak menepuk dada menyombongkan diri. Hal ini dapat semakin memperkuat kerjasama dalam suatu pasukan.
Rase mendengarkan cerita itu hingga selesai. “Kini giliran kamu untuk menceritakan kembali cerita ini kepadaku,” lelaki tua itu menyuruh Rase untuk melatih kemampuannya mengirimkan suara. Dicobanya mengirim suara.
“Bukan begitu. Kamu harus mengirim suaramu kepada orang tertentu. Pusatkan perhatianmu.”
Rase mencoba lagi, dan lagi, dan lagi. Setelah mencoba berkali-kali, dia tetap tak bisa mengirim suara.
“Apa yang mengganggu pikiranmu? Kamu tidak bisa memusatkan perhatian. Perhatianmu terpecah-pecah,” kata lelaki itu.
“Saya memikirkan tentang prajurit kerajaan, Kek. Romo saya dulu juga seorang prajurit kerajaan. Tetapi saya belum pernah bertemu dengannya. Ketika Emak hamil, Romo berangkat tugas karena ada pemberontakan di Kotaraja. Dan, menurut kabar, Romo saya gugur dalam tugas.”
“Hm. Baiklah. Besok kita lanjutkan latihanmu.”
Pesan Moral:
Pemegang pedang kayu jati bertanggung jawab terhadap pasukannya. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang dapat melindungi dan menyejahterakan yang dipimpinnya.
CERITA LAIN TENTANG RASE DAPAT DILIHAT DI Prajurit Telik Sandi Mahapatih Gajah Mada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H