Lihat ke Halaman Asli

Menyayat, Pisau untuk Jayeng (FFK 2011/73)

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

130154383519438231

Salah satu pasangan kolaborasi FFK 2011 yang istimewa adalah Winda Krisnadefa dan Krisna Lazuardi (Edu Krisnadefa). Istimewa, karena mereka adalah pasangan isteri suami. Istimewa, karena nama pasangan ini adalah Duet Biar Badai Menerjang Kami Kokoh Bagai Karang yang, mungkin, adalah nama pasangan kolaborasi terpanjang dalam FFK 2011. Istimewa, khususnya bagi saya, karena Winda dengan berani meminta saya untuk memberikan kritik terhadap cerpen-cerpen yang ditulisnya. Bagi saya, apapun permintaan perempuan beranak dua ini tak dapat saya tolak. Jangankan hanya memberi kritik, separuh dari kerajaan saya juga akan saya berikan kalau dia memintanya. Hoahoahoahoahoa. Pisau untuk Jayeng menjadi cerpen yang saya 'kritik' kali ini. Sebelumnya, mari kita membuat beberapa dugaan. Pertama, ide cerpen ini didapat dari berita di koran atau dari curhatan teman yang sering dipalak preman. Kemudian, cara mendiskusikan ide tidak melalui 'message' tetapi secara face to face (berhadapan muka) atau back to back (beradu punggung). Dugaan terakhir, salah satu dari suami isteri ini menjadi sekretaris, tanpa berbagi tugas, misalnya Winda ngetik bagian pertama dan Bang Edu bagian penutup atau sebaliknya. Nilai yang pantas untuk cerpen Pisau untuk Jayeng adalah: BAGUS. Subyektif banget, ya? Bagus, karena pasangan ini mampu mengolah ide yang sederhana - yang ada dalam kehidupan sehari-hari - menjadi sesuatu yang layak untuk direnungkan. Kenyataan adanya 'perampok-perampok kecil' yang mengganggu ketenangan dan ketentraman warga dan bahwa para 'perampok' ini menjadi 'raja-raja kecil' di mana setiap orang harus membayar 'upeti', bisa menyulut semacam api dendam. Akibatnya? Sebilah pisau menembus perut Jayeng - salah satu perampok kecil - hingga menewaskannya. Bagus, karena cerpen ini menggunakan bahasa yang lugas, tidak dibumbui dengan kata-kata bersayap. Ini bukanlah gaya bahasa yang biasa digunakan oleh Winda. Cerita dibuka dengan "RANDY merebahkan tubuh di tempat tidurnya. Sepatunya masih terikat. Jaketnya pun belum lagi dia lepaskan." Jika Winda yang menulisnya akan menjadi "RANDY merebahkan tubuh di tempat tidurnya yang awut-awutan karena dia tidak pernah sempat untuk merapikannya. Sepatunya yang buatan Cibaduyut itu masih terikat erat. Jaketnya pun belum lagi dia lepaskan." Kesimpulan, bahasa dalam cerpen ini adalah pria punya gaya, Bang Edu. Seandainya dugaan saya ini salah, maka itu hanya berarti bahwa Winda hebat. Dia bisa menjadi bunglon yang mampu beradaptasi - dalam penggunaan bahasa - dengan cerita yang ditulisnya. Bagus, karena plotting (alur cerita) tidak mbulet. Memang, akan menimbulkan efek kejutan yang lebih jika penusukan perut Jayeng itu diletakkan diakhir cerita. Bagaimanapun juga, akhir cerita yang 'menggantung' memberi peluang bagi pembaca untuk meneruskannya: Jayeng ternyata tidak mati karena sempat dibawa oleh anak buahnya ke rumah sakit, anak buah Jayeng mengangkat Randy menjadi boss baru mereka, Randy menyerahkan diri ke polisi, atau ...... Dan, dengan gaya V. Lestari atau S. Mara Gd, cerpen ini bisa menjadi sebuah novel. Dan, itu bagus. (dp)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline