Lihat ke Halaman Asli

Linda si Kuntilanak (Kelabu)

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_283409" align="alignleft" width="300" caption="kuntilanak cantik/clipart"][/caption]

Aku tidak pernah percaya bahwa perempuan bisa bekerja bersamaku. Aku mengerjakan setiap tugasku seorang diri. Aku tidak pernah memerlukan bantuan, apalagi dari seorang makhluk bernama perempuan. Bagiku, perempuan itu bisanya cuma shoppang shopping menghabiskan uang.

Pagi itu, aku harus berangkat ke kantor naik bis kota, karena sepeda motor bututku dipakai adikku si semprul. Ketika bis kota tiba di sebuah halte, gemrudug penumpang berebut naik. Bis kota menjadi penuh sesak, banyak penumpang yang harus bergelantungan. Seorang perempuan muda, sambil bergelantungan, berdiri di sampingku. Dia memandang ke arahku, aku menoleh memandang ke arahnya. Kami bersirobok. Aku acuh, dia juga. Aku tidak tersenyum kepadanya, dia juga tidak tersenyum kepadaku. Mungkin dia berkata dalam hatinya, ‘Cowok gentleman mestinya memberikan tempat duduknya kepada cewek gentlewoman.’ ‘Huh!!’ aku berkata dalam hatiku. ‘Aku bukan cowok gentleman, jadi aku tidak harus memberikan tempat dudukku kepada cewek gentlewoman.’

Tiba di halte tujuan, aku turun dari bis kota. Perempuan itu juga. Aku memasuki kantorku, dia juga. Aku check-lock, dia juga. Aku berbasa-basi dengan resepsionis, perempuan itu tidak. Dia menuju ruang kerjaku dan memasukinya. Eh, kuntilanak dari mana berani-beraninya memasuki ruang kerjaku? Aku geram.

‘Siapa perempuan itu?’ aku bertanya kepada resepsionis. Sebelum dia sempat menjawab, Pak Yohan – atasanku – menghampiriku dan berkata, ‘Tok, aku tahu selama ini pekerjaanmu selalu beres. Tapi aku kasihan sama kamu, kamu mengerjakan semuanya sendirian. Karena itu, selama seminggu kamu bertugas di Jakarta, aku siapkan Linda untuk bisa membantu kamu.’

‘Tapi, Pak …..’

‘Sudahlah. Jangan protes. Sekali ini saja kamu jangan memprotes kebijakan perusahaan’

Aku diam. Aku tidak berterima-kasih kepada Pak Yohan, karena aku memang tidak ingin. ‘Oh, jadi si kuntilanak itu bernama Linda,’ kataku dalam hati.

Aku memasuki ruang kerjaku. Si kuntil eh Linda nampak kaget melihat aku, tetapi dia menyapaku, ‘Selamat pagi Pak Totok.’

‘Koq kamu tahu namaku?’

‘Pak Yohan mengatakan bahwa hari ini Pak Totok akan masuk kerja.’

‘Hm. Pagi.’

‘Apa yang bisa saya kerjakan, Pak?’

‘Bikinkan aku kopi. Jangan terlalu manis.’

‘Baik, Pak.’

Sebenarnya, aku tidak tega menyuruh kuntilanak cantik membuatkan aku kopi. Aku hanya ingin memplokotho dia agar tidak kerasan bekerja bersamaku dan minta dipindahkan ke bagian lain.

‘Ini kopinya, Pak. Ada yang lain yang bisa saya kerjakan?’

Aku ingin menyuruh dia memijati pundakku yang pegal-pegal. ‘Ketik laporan ini.’ Aku memberikan satu bendel kertas tulisan tangan laporan tugasku di Jakarta selama seminggu. Biasanya, aku bisa menyelesaikannya dalam tiga jam. Kalau si kuntil tidak selesai mengetiknya dalam tiga jam, dia akan menjadi ‘perempuan’ dan harus out dari ruang kerjaku. Keputusanku sudah bulat dan tidak bisa diganggu gugat.

‘Baik, Pak.’

Aku keluar dari ruang kerjaku dan menemui Pak Yohan. Kami membicarakan segala tetek-bengek bisnis. Satu jam kemudian, aku kembali ke ruang kerjaku.

Di atas mejaku tergeletak map yang berisi laporanku, terketik rapi. Aku baca seluruhnya, sempurna, tak ada kesalahan. ‘Kalau bukan kuntilanak, pastilah dia perempuan gila,’ aku mbatin.

Penasaran, aku datangi bagian personalia dan menanyakan data pribadi si perempuan gila itu. Benar-benar dia perempuan gila. Lulusan sebuah universitas ternama, pernah bekerja di beberapa perusahaan multi-nasional. Mampu ini, mampu itu.

=====

Sabtu sore sepulang kerja, aku tidak punya kegiatan khusus. ‘Ah, bagaimana kalau mengajak Linda jalan-jalan atau nonton sebagai permintaan maaf? Dan sekaligus sebagai pedekate.’

Aku angkat gagang tilpun dan menekan nomer yang diberikan bagian personalia.

‘Hallo ….’ Suara perempuan kecil di ujung sana.

‘Hallo, Linda ada?’ Ini suaraku.

‘Ini dengan siapa, ya?’

‘Saya, Totok temannya Linda.’

‘Sebentar ya. Ma, Mama! Ada tilpon dari temannya Mama.’

Mama?! Kuletakkan gagang tilpon. Malam Minggu kelabu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline