Pelantikan presiden berikutnya sudah di depan mata, dan bersama dengan itu, para calon menteri mulai berdatangan ke Kartanegara, simbol dari harapan baru sekaligus kekhawatiran akan perubahan kebijakan. Tidak sedikit masyarakat yang bertanya-tanya: apakah perubahan yang akan dibawa kali ini benar-benar bermanfaat? Apakah akan berkelanjutan, ataukah akan menambah daftar panjang kebijakan yang berganti-ganti tanpa arah jelas? Di antara bidang-bidang yang terdampak, pendidikan mungkin adalah salah satu yang paling rentan terhadap perubahan yang tidak konsisten.
Selama beberapa dekade, sistem pendidikan kita telah melalui banyak perubahan. Sejak tahun 1945, kurikulum Indonesia telah mengalami 11 kali revisi. Setiap pergantian menteri, seolah-olah kurikulum menjadi salah satu agenda pertama yang dirombak. Hal ini memunculkan pertanyaan mendasar: apa yang sebenarnya ingin dicapai melalui perubahan kurikulum yang begitu sering? Dalam praktiknya, perubahan-perubahan ini tidak selalu membawa dampak positif yang signifikan. Bahkan, jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang lebih stabil dalam kebijakan pendidikannya, pendidikan Indonesia masih jauh tertinggal.
Mari kita lihat Finlandia sebagai contoh. Negara yang memiliki sistem pendidikan terbaik di dunia ini jarang sekali mengubah kurikulum pendidikannya. Sejak tahun 1968, Finlandia mempertahankan kurikulumnya hingga akhirnya diperbarui pada tahun 2016. Perubahan tersebut dilakukan dengan hati-hati dan disusun dengan mempertimbangkan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, serta tuntutan global. Bahkan, perubahan yang dilakukan tidak bersifat revolusioner, melainkan hanya penyesuaian berdasarkan kondisi sosial-ekonomi terkini. Ini adalah bukti bahwa pendidikan di Finlandia difokuskan untuk tujuan jangka panjang dan tidak dijadikan alat politik yang mudah diubah setiap saat.
Mengapa Finlandia bisa menerapkan sistem yang konsisten dan berkualitas? Salah satu alasannya adalah fokus mereka pada kualitas pendidikan itu sendiri. Pemerintah Finlandia melibatkan para ahli, akademisi, dan praktisi pendidikan untuk merancang kebijakan yang relevan dengan kebutuhan siswa, bukan hanya demi kepentingan politik sesaat. Dengan kurikulum yang stabil, guru dan siswa di Finlandia tidak harus terus-menerus menyesuaikan diri dengan perubahan yang belum tentu bermanfaat. Mereka bisa fokus pada proses belajar-mengajar yang mendalam dan berkualitas.
Di Indonesia, membangun kurikulum yang baru tentunya bukan pekerjaan mudah. Diperlukan waktu yang lama untuk melakukan riset, konsultasi dengan para ahli, serta peninjauan atas hasil belajar sebelumnya. Dalam pembuatan kurikulum, para pembuat kebijakan biasanya juga melibatkan pakar pendidikan untuk memastikan kurikulum yang dihasilkan relevan dan sesuai dengan kondisi masyarakat. Namun, kendala utamanya adalah ketika kurikulum tersebut belum diterapkan secara menyeluruh dan dievaluasi, sudah ada rencana untuk menggantinya. Para pengambil kebijakan sering kali tidak merasakan langsung dampak dari kebijakan tersebut. Yang benar-benar terdampak adalah para guru dan siswa yang menjadi pelaku utama di lapangan.
Bayangkan bagaimana sulitnya bagi para siswa dan guru yang harus terus beradaptasi setiap kali ada pergantian menteri yang membawa kebijakan pendidikan baru. Dalam masa pendidikan 12 tahun saja, seorang pelajar dapat mengalami hingga tiga kali pergantian kurikulum karena adanya perubahan menteri. Hal ini tidak hanya memusingkan, tetapi juga memberatkan siswa dan guru. Setiap kurikulum memiliki pendekatan, sistem penilaian, serta materi yang berbeda. Ketidakstabilan ini pada akhirnya berdampak pada kualitas pendidikan itu sendiri. Alih-alih fokus pada peningkatan kualitas belajar dan pengajaran, mereka malah sibuk beradaptasi dengan kebijakan yang terus berubah-ubah.
Di satu sisi, perubahan kebijakan memang diperlukan untuk menyesuaikan pendidikan dengan perkembangan zaman. Teknologi, misalnya, terus berkembang dan mempengaruhi kebutuhan siswa di era modern. Namun, perubahan kebijakan haruslah dilakukan secara bijaksana, dengan mempertimbangkan apakah perubahan tersebut benar-benar akan membawa dampak positif jangka panjang atau hanya menjadi tambahan beban bagi para pelajar. Kita perlu belajar dari negara-negara lain bahwa perubahan yang efektif adalah perubahan yang terencana, dilakukan dengan penelitian yang mendalam, serta melibatkan evaluasi yang berkelanjutan.
Seharusnya, setiap perubahan kebijakan pendidikan mempertimbangkan kondisi lapangan dan tidak hanya melihat dari sudut pandang pembuat kebijakan semata. Pendidikan adalah investasi jangka panjang yang membutuhkan kebijakan berorientasi masa depan, bukan kebijakan yang bersifat sementara. Para pelajar tidak seharusnya menjadi "korban" dari gonta-ganti kebijakan yang terlalu sering. Sebaliknya, mereka berhak mendapatkan pendidikan yang stabil, berkualitas, dan memiliki arah yang jelas.
Sayangnya, pergantian kebijakan yang begitu sering telah membuat banyak pelajar dan pengajar merasa pasrah akan nasib sistem pendidikan di Indonesia. Kegagalan untuk menetapkan kebijakan yang stabil justru menimbulkan pesimisme di kalangan masyarakat. Mereka mulai mempertanyakan, apakah sistem pendidikan kita benar-benar dirancang untuk kepentingan mereka atau hanya untuk kepentingan politik jangka pendek?
Oleh karena itu, di masa yang akan datang, harapannya adalah pemerintah dan para pembuat kebijakan dapat lebih bijaksana dalam merancang arah pendidikan. Pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang mampu bertahan lama, tidak berubah-ubah setiap kali ada pergantian pimpinan. Kita perlu menanamkan pemikiran bahwa pendidikan bukan sekadar alat politik, melainkan pondasi bangsa untuk mencetak generasi yang unggul. Jika kita serius ingin memperbaiki kualitas pendidikan, maka sudah saatnya sistem pendidikan dirancang dengan visi jangka panjang yang jelas, berfokus pada masa depan, dan berorientasi pada peningkatan kualitas manusia Indonesia.
Pendidikan adalah investasi masa depan. Dampaknya tidak dapat dirasakan dalam waktu singkat, tetapi melalui proses panjang yang melibatkan berbagai pihak. Jika kita ingin melihat perubahan yang berarti, maka kita perlu konsistensi, visi yang jelas, dan kebijakan yang dibuat untuk kepentingan pelajar dan pengajar, bukan untuk kepentingan politik yang hanya sementara.