Layaknya perang dunia kini hampir setiap negara sedang mempersiapkan armada terbaiknya untuk bertempur. Namun bertempur disini bukanlah memerangi terorisme atau invasi besar besaran sebuah negara, yang dimaksud disini adalah memerangi sebuah makhluk berukuran 100 nanometer bernama virus corona.
Muncul di China pada akhir tahun 2019, kini virus Corona telah menginfeksi setidaknya 200 negara dengan jumlah 529.614 kasus. mengakibatkan 23.976 kematian dan 123.380 yang berhasil disembuhkan (kompas.com, 27/03/20).
Mengingat kasusnya yang semakin parah tak aneh jika World Health Organisation memberikan rambu merah virus ini dengan mengklasifikasikannya sebagai pandemik.
Pandemik merupakan sebutan untuk penyakit yang menyebar disetiap tempat dan belum ditemukan obatnya. Di tengah pergulatan tenaga medis dan para ilmuan mencari obat mujrab untuk menghilangkat penyakit ini. Ada salah satu upaya untuk mereduksi penyebaranya yakni dengan melakukan slow down atau social distancing.
Social Distancing atau jaga jarak sudah dilakukan diberbagai negara, singkatnya kita dihimbau menjaga diri dan mencegah penularan. Langkahnya berupa tidak menghindari hadir dalam acara besar atau kerumunan kalaupun harus berada disekitar orang lain jarak yang aman adalah sekitar 2 meter, dan juga menjaga kebersihan diri dengan rajin mencuci tangan.
Di Indonesia upaya preventif dengan social distance dilakukan dengan berbagai cara seperti peniadaan shalat jumat, ibadah di gereja, bekerja dari rumah, sterilisasi kampus, dan himbauan untuk tidak mudik. Hal tersebut dipercaya mampu menurunkan kurva penyebaran virus sehingga pemerintah mampu mempersiapkan fasilitas kesehatan untuk mengatasi permasalahan ini.
Namun upaya ini belum bisa berjalan maksimal terutama bagi wilayah yang masyarakatnya merantau, menggantungkan hidupnya disektor informal seperti UMKM, kuli, buruh, sopir, tukang dan lainya. Pembatasan ruang gerak melalui social distancing setidaknya juga berdampak pada pendapatan mereka. Pada akhirnya opsi terakhir yang bisa mereka pilih adalah kembali ke desa.
Fenomena tersebut setidaknya telah terjadi di berbagai daerah misalnya Jumat lalu tercatat di (tempo.com) sebanyak 1.188 perantau sampai di Gunungkidul, di Brebes disetiap kecamatan hampir terdapat 920 pemudik yang datang, bahkan di Wonogiri dikutip dari (kumparan.com) sebanyak 14.140 perantau pulang dari Jabodetabek.
Itulah sebabnya angka ODP (Orang Dalam Pemantauan) meningkat drastis di berbagai wilayah. Yang paling menghawatirkan tanpa disadari dari ribuan orang itu ada yang membawa virus, kemudian menyebarkannya ke berbagai penjuru. Meskipun pemerintah telah menghimbau untuk tidak mudik, tetap saja arus mudik tidak terbendung.
Tingginya arus mudik ditengah pandemi ini, justru menimbulkan konflik baru antara warga yang yang menetap dengan pendatang. Disatu sisi masyarakat setempat tidak ingin daerahnya tertular penyakit, namun disisi juga, para pendatang tidak mungkin hidup dirantau tanpa penghasilan untuk hidup.
Jika memang larangan pulang kampung itu dilarang lantas dijadikan peraturan yang bisa dipidanakan. Jangan jangan sebelum virus corona yang menjangkit, mereka lebih dulu dibunuh oleh rasa lapar. Pemerintah memang getol getolnya mengkampanyekan untuk tidak mudik tapi belum memikirkan nasib mereka yang diperantauan.