Paradoks Petrus dan Yohanes: Dua Kasih, Satu Kebenaran
Dalam kisah-kisah Alkitab, Petrus dan Yohanes menonjol sebagai dua tokoh besar yang memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Yesus, tetapi menunjukkan kasih mereka dengan cara yang berbeda. Mereka mengungkapkan sebuah paradoks yang mendalam dan sarat dengan pelajaran bagi kehidupan rohani kita.
Petrus adalah seorang yang penuh semangat, seseorang yang selalu berusaha dengan keras untuk menunjukkan kasihnya kepada Yesus. Ia adalah sosok yang berani dan penuh inisiatif. Contoh paling terkenal adalah ketika ia berjanji akan setia sampai mati kepada Yesus, bahkan jika semua orang meninggalkan-Nya.
Namun, kenyataannya, Petrus gagal dalam janji ini ketika ia menyangkal Yesus tiga kali sebelum ayam berkokok. Usahanya yang keras untuk membuktikan cintanya kepada Yesus justru memperlihatkan kelemahannya sebagai manusia. Dalam ketidaksempurnaannya, Petrus mengajarkan kita bahwa kasih sejati kepada Tuhan bukanlah sesuatu yang bisa dibuktikan semata-mata dengan usaha manusia.
Di sisi lain, Yohanes adalah murid yang dikenal dengan sebutan "murid yang dikasihi-Nya". Yohanes sendiri yang sering menggunakan frasa ini untuk merujuk pada dirinya dalam Injil yang ditulisnya. Pada pandangan pertama, hal ini bisa tampak seperti sebuah bentuk narsisme, seolah-olah Yohanes menempatkan dirinya di atas murid-murid lainnya dengan menunjukkan betapa istimewanya ia di mata Yesus. Namun, jika kita renungkan lebih dalam, justru dalam kenyataan ini terkandung sebuah kebenaran teologis yang mendalam.
Yohanes tidak sedang menyombongkan diri, melainkan ia sedang mengakui realitas dari kasih Tuhan yang begitu besar, yang sebenarnya tidak bisa diimbangi oleh kasih manusia. Yohanes seakan-akan menyadari bahwa dirinya tidak sanggup mengasihi Yesus dengan sempurna, dan oleh karena itu ia mengandalkan kasih Yesus yang sempurna kepadanya.
Sebagai sebuah fun fact yang menarik, Yohanes adalah satu-satunya murid yang dengan jelas menyaksikan pengorbanan Yesus di kayu salib. Sementara murid-murid lainnya melarikan diri atau berada jauh, Yohanes tetap berada di dekat salib, menyaksikan penderitaan Sang Guru. Momen ini mempertegas bahwa kasih Yohanes kepada Yesus berakar bukan pada usahanya sendiri, tetapi pada kasih Yesus yang lebih dahulu menyentuh dan mengubah hatinya.
Melalui paradoks ini, kita diajak untuk merenungkan bahwa kasih kita kepada Tuhan, meskipun penting, tidak akan pernah cukup tanpa kasih Tuhan yang terlebih dahulu mengasihi kita. Ini adalah pengakuan bahwa kasih Tuhanlah yang menjadi fondasi dan sumber dari segala kasih yang kita berikan kepada-Nya. Semangat untuk terus belajar dari kisah Petrus dan Yohanes! Biarlah kita terus bertumbuh dalam kasih, bukan dengan kekuatan kita sendiri, tetapi dengan kekuatan kasih Tuhan yang bekerja dalam hidup kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H