Jaringan Intelektual Berkemajuan (JIB) mengadakan diskusi "Sistem Zonasi: Polemik dan Manfaatnya" di Gado-Gado Boplo, Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (21/06/2019). Narasumber dalam diskusi ini di antaranya Doni Koesoema A (Pengamat Pendidikan Universitas Multimedia Nusantara), Abdullah Sumrahadi (Pengamat Kebijakan Publik Universitas Krisnadwipayana), dan Kosman Komar (Orangtua Murid dari Yayasan Cahaya Guru), dan dipandu oleh Hamzah Fansuri dari JIB.
Akhir-akhir ini polemik seputar sistem zonasi sekolah yang digagas oleh Kemendikbud RI terus mencuat di masyarakat. Banyak masyarakat menilai program ini sebagai wujud pemerataan pendidikan yang perlu didukung agar setiap sekolah maju dan berkembang bersama. Selain itu juga akan menjadi angin segar bagi penyandang disabilitas karena bisa menjangkau sekolah terdekat.
Kebijakan sistem zonasi pada proses penerimaan peserta didik baru (PPDB) sebenarnya bukanlah hal baru. Banyak negara telah melaksanakan program serupa seperti Inggis, Amerika, Australia, Finlandia, Kanada, Jepang, dan negara maju lainnya. Akan tetapi masyarakat kita perlu untuk mengenali kebijakan ini termasuk urgensi dan kebermanfaatan bagi pendidikan nasional secara umum.
Sesuai dengan isi edaran yang dirilis Kemendikbud, pendekatan zonasi yang dimulai dari penerimaan siswa baru dimaksudkan untuk memberikan akses yang lebih setara dan berkeadilan kepada peserta didik. Tanpa melihat latar belakang kemampuan ataupun perbedaan status sosial ekonomi. Dampak lain yang diharapkan adalah sistem ini akan memicu kesadaran SDM tempatan untuk tetap berada di wilayahnya masing-masing dan membangun wilayah tempat tinggalnya.
Tentu kita menyadari ada sejumlah kesulitan untuk menerapkan sistem ini secara nasional, akibat kondisi-kondisi real di lapangan, antara lain kualitas sekolah yang tidak merata. Namun sistem zonasi sekolah juga beriringan dengan program peningkatan kualitas guru, kelengkapan sarana prasana fisik, dan kondisi-kondisi kultural. Mitos tentang sekolah unggulan yang selama ini telah tertanam dalam masyarakat, bagaimana pun terjadi akibat tidak berjalannya pemerataan secara serentak di dunia pendidikan. Untuk itulah sistem zonasi sekolah dirancang dan diterapkan.
Kerja ini memerlukan komitmen dan partisipasi aktif yang luas dari masyarakat dan harus menjadi momentum bagi penyelenggara pendidikan formal untuk meningkatkan kualitas dan kompentensi. Dari zonasi sekolah, sistem ini nantinya dijperkuat dengan zonasi guru berdasarkan wilayah. JIB memandang sistem zonasi akan membuat tumbuh kembang anak menjadi lebih baik, karena tidak ada iming-iming unggulan. Dengan demikian, semua anak adalah potensi yang dapat mengembangkan dirinya menjadi unggul dengan bersekolah di lingkungan terdekatnya.
Untuk itulah sosialisasi pelaksanaan progam ini perlu makin diperkuat dan ditingkatkan intensitasnya. Di samping melakukan evaluasi untuk perbaikannya.
JIB juga merespon positif rekomandasi Ombudsman yang melihat kurangnya koordinasi antara Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementrian Dalam Negeri dalam proses penerapan sistem zonasi. Hal itu perlu dievaluasi dan diperbaiki untuk mencegah penyimpangan yang mungkin terjadi akibat ada kebijakan pelaksanaan yang berbeda di daerah-daerah. Pihak Kemendikbud dan Kemendagri, juga dituntut untuk lebih komunikatif dengan keluhan-keluhan masyarakat demi tercapainya tujuan utama sistem zonasi untuk melakukan pemerataan kualitas.
Kebijakan zonasi juga wujud pemerataan pendidikan yang perlu didukung agar setiap sekolah maju dan berkembang bersama. Kebijakan ini sudah sesuai spirit Nawacita jilid II, maka perlu dukungan dari seluruh daerah provinsi seluruh Indonesia.
Jakarta 21 Juni 2019
Jaringan Intelektual Berkemajuan