Jarum jam terus berdenting tanpa menetap
Birunya langit ku temui saat mentari mulai bersinar
Rembulan malam menutupi sinar dengan gelapnya awan
Ini aku masih melangkah menapaki jalan penuh lika liku
Begitu nikmat aku berjalan diatas pilihan
Asaku hilang saat ragaku lemah
Jatuh begitu parah hingga aku tak mampu berdiri menemui asa
Ada satu asa yang aku ukir di kota karang namun pupus bersama waktu
Perihal ragaku begitu parah merawat cita
Gugur saat senjata perang aku siapkan sedang raga tak aku pedulikan
Ku tinggalkan kota karang untuk hapuskan asa yang tergores kalah itu
Dengan sejuta sakit hati yang terpatahkan
Ini cita tak aku gapai hanya sebatas mimpi indah
Remuk redam hatiku sebab ingatkan tak sempat amnesia
Ingin aku benci raga ini
Lalu menolak untuk bermipi lagi dan lagi
Tapi aku anak muda masa depan ayah dan ibu
Tak boleh mati asaku walau pata hati kota karang masih tersimpan jelas dalam memori ingatan
Aku menata langkahku
Memperbaiki patahku
Perlahan menyambungnya satu persatu yang pudar membentuk mimpi
Berpijak dengan kakiku melangkah maju meski yang aku mimpikan tak sesuai pilihan
Demi senyum ayah dan ibu aku memilih melangkah maju
Hati dan raga boleh terpatahkan
Namun senyum ibu menguatkan
Bahu ayah masih meyakinkan
Pastikan saja aku menari bersama asaku meski kali ini aku belum sempat mengerti
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H