Hiruk pikuk media sosial belakangan ini dipenuhi dengan sorotan tajam terhadap alumni LPDP. Saya melihat ada ketidakadilan dalam cara masyarakat menilai para penerima beasiswa prestigious ini.
Kita terlalu cepat menghakimi tanpa melihat gambaran yang lebih luas dari sistem beasiswa yang dibiayai APBN ini.
Polemik ini bermula dari pernyataan Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi, Satryo Soemantri Brodjonegoro, yang menyebutkan bahwa penerima beasiswa LPDP tidak wajib kembali ke Indonesia. Pernyataan ini sontak memicu perdebatan publik yang panas. Namun, mari kita lihat persoalan ini dengan lebih jernih.
LPDP sendiri mengelola Dana Abadi kumulatif sebesar Rp 154 Triliun yang diinvestasikan ke berbagai instrumen keuangan.
Jadi, bukan dana APBN yangdigunakan melainkan hasil investasi yang dikelola oleh LPDP. Hasil investasi inilah yang kemudian digunakan untuk mendanai tidak hanya beasiswa, tetapi juga riset kolaborasi dengan berbagai lembaga. Jadi, ketika kita berbicara tentang kontribusi, seharusnya kita tidak hanya menyoroti para alumninya saja.
Saya melihat ada paradoks dalam ekspektasi masyarakat terhadap alumni LPDP. Di satu sisi, mereka dituntut menjadi superhero yang langsung membawa perubahan besar begitu kembali ke tanah air.
Di sisi lain, realitas di lapangan menunjukkan bahwa mereka justru sering kesulitan mendapatkan tempat yang sesuai dengan kompetensi mereka.
Bayangkan situasi ini: seorang lulusan doktor dari universitas terkemuka di luar negeri kembali ke Indonesia dengan semangat mengabdi. Namun, yang dia temui adalah sistem rekrutmen yang masih mengandalkan "orang dalam" dan posisi-posisi yang tidak sesuai dengan keahliannya.
Pada saat menjalani studi, penerima beasiswa LPDP bukannya tidak berkorban besar. Bayangkan bahwa bagi mereka yang sudah berkeluarga dan melanjutkan studi S-2, beasiswa LPDP tidak memberikan tunjangan keluarga. Mereka harus merogoh tabungan pribadi untuk bertahan hidup di negara tujuan studi. Atau harus meninggalkan keluarga di Indonesia. Harus mengeluarkan uang sendiri untuk tiket pulang pergi menengok keluarga. Dan bayangkan ada risiko dengan tidak tinggal serumah, bagi yang tidak mampu bertahan, rumah tangganya menjadi berantakan.